PANTAS SAJA IBU MELARANGKU PULANG KETIKA ADIKKU MENIKAH. TERNYATA PENGANTIN PRIANYA ADALAH ....
Part 6
Puncak dari rasa sakit hati bukanlah menangis, tapi tertawa. Saking sakitnya hati, air mata justru tak mampu keluar. Itulah yang terjadi padaku. Rangkaian peristiwa kemarin, pernikahan Indra dan Erina yang terjadi di depan mataku, Ibu dan Bapak yang dengan sengaja menyembunyikan pernikahan mereka, dan kini, pesan balasan yang ditulis Erina untukku. Aku mulai tak yakin, bahwa dia benar-benar adikku. Atau mungkin, akulah yang sebenarnya bukan bagian keluarga itu.
Aku tertawa membaca pesan Erina. Merasa lucu karena dia menyalahkanku padahal dia yang merebut kekasihku. Dan yang lebih lucu, dia bilang aku menghina suaminya. Padahal, suaminya memanglah sehina itu. Menghamili adik kekasihnya sendiri, apalagi namanya kalau bukan ba ji ngan?
Setelah menenangkan diri sejenak, aku menskrinsyut pesan WA Indra dan bermaksud mengirimkannya. Tapi belum sempat kukirimkan, ponselku tiba-tiba saia berdering. Hatiku mencelos. Ibu. Seperti biasa, Erina akan mengadu pada Ibu.
Kuusap layar ponsel ke atas. Sudah kuputuskan bahwa aku tak akan diam lagi. Sudah cukup selama dua puluh empat tahun usiaku, aku selalu mengalah pada adikku.
“RANIA!”
Suara Ibu memekik dari seberang telepon. Aku sampai harus menjauhkan benda itu dari telinga.
“Beraninya kau menghina adik iparmu sendiri! Kenapa kau tidak enyah saja dari muka bumi ini?!”
Aku terhenyak mendengarnya. Semenyakitkannya kata-kata Erina, ternyata jauh lebih menyakitkan lagi kata-kata Ibu. Aku terpaku, sejenak tak tahu harus berkata apa.
“Sejak dulu, kau memang hanya jadi duri dalam daging! Kau membuat kebahagiaan keluargaku tak utuh.”
Aku mengusap wajah dengan kasar.
“Aku tidak pernah minta dilahirkan! Dan kalau itu yang Ibu inginkan, baiklah, akan kulakukan. Aku berjanji tak akan lagi menampakkan wajah di depan kalian.”
Hening sejenak, sebelum akhirnya suara Ibu menyalak lagi.
“Kau berani melawan Ibu? Bukannya meminta maaf. Seharusnya kau berterima kasih karena sudah kurawat baik-baik. Kau tahu? Kalau
… “Suara Ibu terputus, lalu terdengar suara gemerisik dan langkah kaki yang lebar. Tak lama, kudengar suara Bapak di seberang sana. Ah, Bapak. Aku bahkan sampai lupa kalau aku punya Bapak.
“Rania. Sudah, jangan dengarkan kata-kata Ibumu. Untuk sementara, jangan pulang dulu sampai hati Ibumu tenang… “
“Kamu, ya Pak! Kamu… “
Tut… tut… tut…
Telepon terputus. Aku menutup mata, membayangkan pertengkaran yang terjadi di sana. Bapak agak sedikit lebih baik daripada Ibu. Meski sama-sama tak peduli padaku, setidaknya Bapak tak pernah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Tapi, sayang sekali, di rumah itu, Ibulah yang lebih dominan.
Apa yang hendak diucapkan Ibu dan tiba-tiba terputus karena hapenya direbut Bapak? Apakah ada sesuatu yang tidak ku ketahui? Atau… benarkah gosip yang selama ini beredar di kampung kami kalau aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu?
Empat belas tahun lalu, aku pulang sambil menangis karena dikatai anak pungut untuk pertama kalinya oleh salah seorang anak tetangga. Dia marah karena tak kupinjami sepeda. Bukan aku pelit, tapi, Ibu selalu bilang agar sepeda itu tak sering kupakai biar tak cepat rusak. Ibu hanya ingin para tetangga tahu bahwa Ibu mampu membelikan aku sepeda mahal.
“Ningsih bilang, Nia anak pungut. Apa benar?”
Ibu dan Bapak saling berpandangan. Tadinya kuharap Ibu akan memeluk dan memenangkanku, lalu berkata bahwa itu tidak benar. Nyatanya, Ibu hanya melengos dan pergi. Bapaklah yang kemudian berkata sambil menatapku sepintas.
“Mana ada itu. Sudah jangan kamu dengar kata orang.”
Sangat tidak meyakinkan, tapi aku tak berani bertanya lagi. Atau mungkin, tepatnya, aku sendiri yang takut bertanya. Takut, seandainya itu memang benar.
Aku membuka lagi ponsel dan menghela napas menyadari foto profil Ibu sudah kosong. Ibu memblokir nomorku. Atau mungkin Bapak yang melakukannya untuk menghindari pertengkaran. Biarlah, bukankah selama ini aku memang dianggap tak ada? Kucari nomor WA Indra dan kublokir sekalian. Aku tak jadi mengirimkan skrinsyut wa-nya tadi. Buat apa? Lambat laun, kebusukannya akan terbongkar juga.
Kuletakkan ponsel di atas bantal, menyusut mata yang sedikit basah. Mulai sekarang, aku akan benar-benar sendirian.
***
Aku bangun pagi dengan kepala sedikit pusing karena kurang tidur. Semalaman, aku berpikir, menduga-duga dan mulai menyiapkan diri. Sepertinya, gosip itu memang benar. Aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu. Perlakuan yang berbeda, kata-kata Ibu yang selalu berusaha menyakiti aku. Bapak yang nyaris tak pernah membela. Siapa aku sebenarnya?
“Kenapa akhir-akhir ini saya lihat kamu pucat? Matamu sembab seperti orang habis nangis? Kamu sakit?”
Pak Aksan sudah ada di mejaku saat aku tiba. Tumben sekali. Bahkan dia meletakkan sebuah kotak kecil kue di sana.
“Nggak, Pak. Cuma semalam kurang tidur aja?”
“Kenapa nggak tidur? Mikirin saya?”
Aih.
Aku tertawa kecil, membuka kotak kue dan mendapati dua potong sosis solo dan satu risol mayo serta satu buah soes durian yang menggoda. Melihat makanan itu, aku baru sadar bahwa terakhir kali makanan masuk ke dalam perutku adalah bakso yang kumakan bersama Riri kemarin.
“Ini buat saya?”
“Iya. Biar kamu nggak kelaparan dan konsentrasi bikin desain videotron.”
Perutku langsung mulas mendengarnya. Tapi, aku terharu mendengar betapa pedulinya bapak kepala divisi yang masih melajang di usia tiga puluh ini.
“Makasih, Pak. Kebetulan saya belum sarapan.”
“Hemm, jangan sering-sering melewatkan waktu makan. Saya nggak mau karyawan saya sakit.”
Aahh, dia memang baik sekali. Makanya para karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya betah semua.
“Rania… “
Pak Aksan bergeser sedikit hingga lebih dekat denganku.
“Iya, Pak?”
“Kamu serius yang nabrak kamu Pak Attariz?”
“Attariz siapa?”
…
“Saya. Kenapa?”
Kami tersentak kaget mendengar suara itu dan serentak menoleh. Di anak tangga paling atas, berdiri sosok itu, sepertinya baru saja naik ke lantai atas, melangkah tanpa suara. Sosok itu bahkan kini berjalan menghampiri kami seperti seekor anjing pemburu sedang mengincar mangsa.
Mati aku!
*
