LUKA RANIA

573 15 0
                                    

PANTAS SAJA IBU MELARANGKU PULANG KETIKA ADIKKU MENIKAH. TERNYATA PENGANTIN PRIANYA ADALAH ....

Part 3

Aku pulang dengan perasaan jauh lebih lega. Kenyataan bahwa Erina menikah dengan Indra karena hamil lebih dulu, membuatku tersadar, bahwa selama ini, aku telah dibodohi. Dia bukan lelaki baik-baik. Tentu saja, lelaki yang baik tak mungkin menjalin hubungan dengan adik kekasihnya hingga berbadan dua.

“Aku bersyukur hal ini terjadi lebih awal. Kalau mereka berhubungan diam-diam di belakangku setelah kami menikah, mungkin, aku akan benar-benar hancur.”

Fika mengangguk.

“Kau benar. Aku sendiri nggak merhatiin sejak kapan mereka main belakang, tahu-tahu aja si Rina tekdung.”

Kami terdiam sejenak.

“Kembalilah ke pesta. Panitia akan kehilangan salah satu among tamu.”

“Ora sudi.”

Aku tertawa kecil mendengar kata-kata Fika yang ketus. Dia memang seperti itu sejak dulu. Sayang sekali kami harus terpisah jarak karena Fika anak satu-satunya, yang tak mungkin pergi meninggalkan orang tua yang mulai Sepuh. Tapi aku berjanji akan tetap menjalin komunikasi dengannya meski aku bertekad tak akan lagi menginjakkan kaki di tempat ini.

Kami berpisah kemudian. Fika memelukku erat dengan mata berkaca-kaca.

“Aku berdoa, semoga kamu mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik, lebih kaya, lebih segalanya. Yang sayang kamu, menghargai dan menjadikan kamu ratu.”

Aku terharu mendengar doanya yang terdengar tulus.

“Doa yang sama untuk kamu Fika. Untung ada kamu.”

“Pokoknya kalau aku nikah, kamu harus datang. Muter aja lewat balai desa kalau nggak mau lewat rumahmu ya.”

Aku tertawa mengingat kata-katanya, lalu meringis mengingat janjiku sendiri untuk tak datang lagi ke kampung ini. Sementara itu, motor terus melaju membelah jalanan kabupaten yang sepi di jam dua siang. Perutku lapar sekali. Tadi, makanan yang dibawakan Fika tak mampu kutelan karena masih merasakan dadaku yang sesak.

Lebih dari setengah perjalanan, aku berhenti di pinggir jalan, turun dari motor dan meregangkan pinggang dan telapak tangan yang pegal. Kukeluarkan air mineral dari dalam ransel lalu meneguknya banyak-banyak. Pinggangku pegal karena sudah mengendarai motor dua jam lamanya. Belum dihitung lama perjalanan tadi pagi. Perjalanan yang kulakukan hanya untuk mendapati kenyataan menyakitkan.

Sedang aku mengatur napas dan berniat melanjutkan perjalanan, dari jauh, sebuah mobil meluncur dengan kecepatan tinggi. Aku mengerutkan kening melihat kendaraan roda empat itu seperti kehilangan kendali. Dan, astaga! Mobil itu hendak menabrak motorku!

Aku melompat mundur dan berlari menjauh, menghindari tabrakan. Motorku!

Brak!

Cittt …

Mobil itu benar-benar menabrak motorku hingga terseret beberapa meter jauhnya sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Orang-orang yang tadi ikut berlarian menjauh, kini berbalik mendekat, termasuk aku. Hatiku mencelos. Motor kesayangan yang kucicil selama tiga tahun dan baru saja lunas itu, pasti ringsek. Suara benturannya saja terdengar mengerikan sekali. Untung saja ini jalanan kabupaten yang sepi, bukan jalan raya yang padat.

“Kamu nggak apa-apa?”

Orang-orang mengerumuni mobil itu. Aku berlari, menyeruak pagar manusia dan mendapati seorang lelaki keluar dari dalam mobil sambil memegang dahinya. Kukira dahinya berdarah karena terbentur stir, tapi ternyata tidak. Entah bagaimana dia mengendalikan mobilnya tadi hingga menabrak motorku hingga ringsek, tapi dia sendiri baik-baik saja meski jalannya agak sempoyongan. Bemper mobilnya memang rusak parah.

“Saya nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing. Maaf, tadi ban-nya selip.”

Orang-orang mendesah lega. Beberapa orang memeriksa motorku yang ringsek parah.

“Motor siapa ini?”

“Parah banget.”

“Itu motor saya, Pak!” seruku. Semua orang menoleh dan memandangku, termasuk lelaki itu.

“Nah, untung langsung ketemu, silakan diselesaikan dah. Perlu bantuan Pak RT atau polisi?”

“Perlu!”

“Tidak!”

Aku melotot, menatap lelaki yang baru saja menyangkal ucapanku. Dia meringis.

“Kamu mau kabur?”

Dia tertawa, “Siapa bilang? Saya mau ganti motor kamu dengan yang baru, nggak perlu urusan dengan polisi, ribet. Tapi, tunjukin dulu STNK-nya. Kan bisa aja kamu cuma ngaku-ngaku.”

Eh?

Dasar lelaki sombong. Sudah salah tapi tetap saja angkuh.

Aku mengeluarkan dompet tanpa mengalihkan tatapan mata dari lelaki itu. Kulemparkan STNK motor, yang langsung ditangkapnya dengan sigap. Dia meneliti STNK-ku dan mencocokannya dengan plat di motorku yang kini terlihat seperti barang rongsokan. Ah, untung saja tadi aku turun dari motor. Bayangkan kalau aku masih ada di atasnya, mungkin saat ini aku sudah pindah alam.

“Oke, benar.”

“Jelas. Itu motorku tahu. Aku nyicil susah payah. Baru aja lunas trus kamu hancurin.”

Dia mengangkat bahu dengan sikap tak acuh. Menyebalkan sekali.

“Sorry. Tapi untung cuma motornya. Nggak ada orangnya. Lain kali jangan parkir sembarang.”

“Bukan salah motorku, kamu yang nggak bisa nyetir. Mending cari sopir daripada bikin orang celaka. Atau jangan-jangan kamu lagi mabok ya?”

Dia memutar bola mata mendengar kata-kataku.

“Enak saja. Sebutkan nomor rekeningmu. Aku transfer sekarang.”

Hah? Yang benar aja? Aku menoleh, menatap beberapa orang bapak-bapak yang sepertinya penduduk sekitar. Mereka mengangguk, menyuruhku menerima langsung tawaran si penabrak, yang kini menatapku sambil menimang ponsel dengan ekspresi tak sabar.

“Ayo cepat. Saya nggak punya banyak waktu.”

Aku mendengus. Kusebutkan nomor rekeningku, yang langsung dia ketik di ponselnya. Hmm, awas aja kalau nggak sesuai.

Tring!

Notifikasi M-bankingku berbunyi. Aku terbelalak. Tiga puluh juta?

“Hey, ini … “

“Urusan kita selesai. Bye!”

Lelaki itu melenggang ke mobilnya.

“Kenapa, Mbak? Kurang ya?” Tanya si Bapak. Aku spontan menggeleng, menatap mobil yang menjauh. Rupanya masih bisa hidup meski bempernya hancur.

“Eh, nggak Pak. Cukup kok. Ya udah, saya permisi ya, Pak.”

“Loh, ini motornya gimana, Mbak?”

“Ambil aja, Pak. Ini STNK-nya. Mungkin bisa dibenerin. Permisi.”

Aku bergegas pergi meninggalkan si Bapak yang terbengong-bengong. Kucari ojek pangkalan karena tak ada waktu memesan ojek online. Sepertinya aku harus menyusul lelaki tadi. Dia mentransfer uang terlalu banyak untukku. Motor ini harga cash-nya hanya dua puluh satu juta.

Sepanjang jalan, si tukang ojek yang tadi ikut menyaksikan insiden itu bertanya ini dan itu, yang kujawab dengan malas. Mataku menelusuri jalanan yang mulai ramai. Sepertinya, aku telah kehilangan jejak. Baiklah, anggap saja sisa uang yang dia transfer untuk ongkos pulangku ke kota. Siapa suruh main transfer aja, nggak tanya dulu. Aku turun dari ojek dan mencegat bus yang akan membawaku pulang ke kost-an.

Sungguh, ini adalah hari paling sial sedunia.

***

Luka RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang