01. HARI PERTAMA

42 6 0
                                    

"Kak Dohoon, loh udah pulang? Bukannya besok ya?"

Seorang pemuda berjaket hitam menepuk pundak pemuda lain yang memakai masker putih. Pemuda bermasker itu segera menarik maskernya hingga seluruh wajahnya dapat terlihat. Senyum ramah terlukis di parasnya.

"Maaf, saya bukan Dohoon," ujar pemuda bermasker putih kemudian.

Pemuda yang tadi menyapanya terbelalak. Sedetik kemudian, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sorry! Sumpah, gue kira lo Kak Dohoon!"

"Haha, iya nggak papa," ujar pemuda itu santai, hendak melanjutkan langkahnya.

"Mirip banget. Anak baru juga kah? Saudaranya Kak Dohoon?" pemuda itu menyipitkan matanya, meyakinkan dirinya sendiri jika sosok di hadapannya bukanlah Dohoon yang ia kenal.

Pemuda bermasker putih lalu melepas masker dan menyimpannya dalam saku celana. "Iya, saya anak baru. Saya bukan saudara Dohoon."

Pemuda berjaket hitam ber-oh panjang.

"Kelas berapa?"

"12 MIPA-1. Kamu?"

"Oh, kakak kelas? Gue 10 IPS-1"

"Nama kamu?"

Pemuda berjaket hitam mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Jihoon. Han Jihoon."

Setelah itu, pemuda yang tadi dipanggil 'Dohoon' memperkenalkan dirinya.

"Saya Shin Junghwan. Salam kenal ya, Jihoon," lagi-lagi, Junghwan tersenyum.

Tiga orang sebelum Jihoon langsung pergi setelah mereka tahu bahwa ia adalah Junghwan, bukan Dohoon. Sementara itu, orang keempat--Jihoon--masih berdiri di hadapannya seperti anak kucing yang penasaran dengan mainan baru.

Bagi Junghwan, salah mengenali orang adalah kejadian lumrah sebab ia juga pernah mengalaminya. Namun, ia sudah dikenali sebagai Dohoon sebanyak empat kali pada hari pertamanya di sekolah ini.

"Kamu nggak pulang, Jihoon?" tanya Junghwan memecah lamunan Jihoon yang dari tadi hanya berdiri memandanginya.

"Eh, oh... Ini mau pulang. Tapi... seriusan bukan saudara?" tanya Jihoon berlari kecil ke arah parkiran sepeda dan Junghwan mengikutinya.

Junghwan menghela napas. "Semirip itu kah? Temen sekelas saya juga pada nanya itu."

Jihoon mulai menuntun sepedanya. "Nggak juga sih kalo diperhatiin banget. Sekilas aja, tapi kayaknya tinggi kalian sama."

"Masalahnya udah empat orang yang ngira saya Dohoon hari ini." jawab Junghwan.

"Pindahan dari SMA mana?" tanya Jihoon lagi.

"Baru ini masuk sekolah umum. Dari SD saya homeschooling," jawab Junghwan apa adanya. Dari ekor matanya, Junghwan dapat menangkap raut skeptis Jihoon.

Stereotipe tentang anak homeschooling selalu muncul di masyarakat. Junghwan dapat memastikan itu setelah ia mendapat reaksi yang sama dari orang-orang yang juga tampak terkejut mengetahui fakta bahwa dirinya bukan berasal dari sekolah umum. Mengapa orang-orang selalu memandang anak homeschooling dengan sebelah mata?

"Dunia luar itu keras, Junghwan," ucapan Papa menggema di kepala.

Perdebatan panjangnya dengan Papa malam itu berakhir pukul dua pagi dengan keputusan pasrah Papa yang mengizinkan Junghwan masuk ke sekolah umum. Lagi pula usia Junghwan sudah 19 tahun. Ia bisa sedikit teknik taekwondo. Ia juga tahu cara memilih teman. Sepanjang ia mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri, ia bisa bertahan di luar sana.

"Papa tidak mau kamu jadi korban lagi."

Junghwan tidak tahu--bukan, ia tidak ingat. Kekhawatiran terbesar Papa untuk membiarkannya bergaul dengan anak seusianya selalu bermuara pada tindakan perundungan, padahal Junghwan tidak pernah merasa dirundung semasa kecil. Papa selalu bilang kalau dulu ia dirundung sebegitu parahnya. Ia dipukuli sampai kepalanya cedera berat dan ingatannya hilang.

Kala itu, Junghwan sangat terkejut. Seberapa keras pukulan yang bisa dilayangkan oleh anak-anak sampai Junghwan kecil amnesia? Apakah cerita Papa nyata? Apakah Papa bisa dipercaya?

Terlebih lagi, apakah Papa memang ayah kandungnya?

Dan apakah dia memang Shin Junghwan?

"Kamu kelas 10 kan? Berarti hitungannya murid baru juga, tapi udah kenal Dohoon yang kelas 11?" Junghwan balik bertanya setelah menyimpulkan beberapa informasi yang ia dapat, termasuk informasi kelas Dohoon yang tadi sempat ia dengar dari teman sekelasnya.

"Gue sama Kak Dohoon satu SMP, yayasannya sama kayak yayasan SMA ini. Udah kenal lama sih," papar Jihoon. "Ya udah, gue balik dulu, Kak."

Mereka berdua berpisah tepat di gerbang sekolah. Junghwan mengambil arah timur, sementara Jihoon sudah mengayuh sepedanya ke barat.

Selama berjalan menuju rumah, otak Junghwan mencoba meringkas kejadian demi kejadian sepanjang hari ini: momen salah-dikira-sebagai-Dohoon itu benar-benar tidak terduga.

Junghwan mengambil ponselnya dari saku kemeja dan segera mengetik nama itu di kolom pencarian identitas siswa di aplikasi khusus milik sekolah. Junghwan sudah melihat profil pemuda itu empat kali hari ini. Menatapnya lagi dan lagi, mencari di mana letak kemiripan yang tidak pernah absen menjadi alasan orang-orang memanggilnya dengan nama itu. Hasilnya belum dapat ditentukan. Foto profil Kim Dohoon kosong.

Tadi di kelas pun seorang teman memang telah menunjukkan foto Dohoon yang ia punya, tapi setengah wajahnya tertutup tudung hoodie. Stalking media sosialnya pun percuma, anak itu tidak punya akun media sosial. Tipe anak yang tidak suka mempublikasikan diri, mungkin.

•••

ANONYMOUS 247Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang