Dua

7 0 0
                                    


Ganesh kecil tidak suka dengan orang-orang baru. Namun, ia tahu ia tidak memiliki pilihan lain, jadi sebagai anak sembilan tahun dia menerima apa yang direncanakan untuknya. Walau begitu, dia tetap mempertahankan caranya untuk memberontak: berperilaku seburuk mungkin.

Pram hanya bisa mengantar Ganesh hingga Bandara Soekarno-Hatta. Dia harus segera kembali ke Perancis, jadi dia mengucapkan selamat tinggalnya pada Ganesh di sana.

"Papa akan menjemputmu lagi setelah...," Pram tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia, menggenggam bahu mungil Ganesh, melanjutkan setelah desah, "...setelah keadaan Faustine membaik."

Ganesh mendorong tangan Pram menjauh. Dia meraung, memukul, dan menendang Pram sekuat tenaga, tidak habis pikir mengapa dialah yang harus dikorbankan, dan bukan Faustine. Di antara air mata dan teriakan, begitulah sosok Pram yang terakhir Ganesh ingat.

Kemudian Ganesh dipindah tangan pada seorang supir yang bekerja pada keluarga Leroix. Ganesh dibawa menyusuri jalan gunung berliku-liku di Puncak. Sekali atau dua kali mereka berhenti, dan pada kesempatan-kesempatan itu, Ganesh berusaha melarikan diri. Dirinya yang masih kecil tidak sadar kalau ia sudah begitu jauh dari Paris, atau dari Pram.

"Jangan begitu, Den. Pak Thierry punya anak-anak seumuran Den, nanti Den bisa berteman dengan mereka...," kata supir yang mengantar Ganesh, seraya mengaktifkan tuas proteksi anak agar pintu mobil tidak bisa dibuka dari dalam. "Den pasti suka di Bandung. Makanannya enak-enak, saya dari Kebumen, tapi saya suka banget sama yang namanya cireng. Tahu nggak itu singkatan dari apa, Den?"

Ganesh tidak menjawab.

"Dari 'aci digoreng', hahaha!" Pak supir itu kemudian tertawa. "Kalau comro, tahu nggak, Den? Pedes-pedes gitu, enak banget juga. Kalau Den udah tahan pedes, nanti Sanjo beliin. Comro itu juga singkatan, lho, Den."

Ganesh masih membisu.

"Dari oncom di jero, Den! Hahahaha! Artinya ada oncom di dalem adonannya... Makanya disingkat jadi comro. Aneh-aneh, kan, singkatannya? Ada batagor juga, 'baso tahu goreng', sama cilok, 'aci dicolok'. Di Perancis pasti nggak ada, kan?!"

Sang supir melongok lewat kaca spion dasbor, melihat Ganesh yang masih merungut. Supir itu kemudian ikut terdiam, air wajahnya perlahan-lahan berubah. Ia sadar betapa menyedihkannya apa yang sedang dilalui Ganesh, kemudian memutuskan untuk memberikan anak itu sedikit waktu untuk membenahi perasaannya. Ganesh masuk ke dalam tidur setelah kesunyian menyelimuti mereka untuk beberapa lama.

Ketika Ganesh terbangun, Pak Sanjo telah membawanya sampai pada sebuah kafe di bagian utara Bandung, di daerah Cimbuleuit. Petang di Bandung Utara udaranya sejuk, seperti Paris pada akhir musim semi. Kafe itu terlihat sepi, hanya ada sebuah mobil di depan. Pada pintunya digantung tulisan ouvrir, yang Ganesh mengerti sebagai 'buka'. Dengan lehernya yang kecil dia mendongak ke atas, melihat papan nama yang terbentang di atas pintu masuk: Galette.

Hanya beberapa detik setelah Ganesh turun dari mobil, pintu depan kafe itu menjeblak terbuka dan seorang anak perempuan kecil yang lebih muda darinya berlari ke arahnya. Ganesh hanya memiliki sepersekian detik untuk melihat dengan jelas, karena anak perempuan itu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat-erat.

Setelah anak perempuan itu melepaskannya, Ganesh menelaah rok tutunya yang berwarna seperti salmon, dan tongkat berbintang di tangannya. Anak perempuan itu tersenyum lebar dan mengetuk-ngetuk kepala Ganesh, lalu berseru dengan nada memerintah, "Jadi kodok! Jadi kodok!"

Ganesh belum pernah melihat anak perempuan seaneh dirinya.

"Ayolah Odile, jangan begitu. Lihat dia, gagah, persis seperti Pram!" kata Thierry cerah. Sebaliknya, komentar itu membuat Ganesh menekuk mukanya. Thierry tidak tampak menyadarinya. Ia kemudian berpaling pada supir yang mengantar Ganesh dari Jakarta. "Terima kasih sudah membawanya dengan aman kemari, Pak Sanjo," kata Thierry pada supir yang mengantar Ganesh dari Jakarta.

GaletteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang