Prolog : Land of The Imaginer

5 2 0
                                    

Splash!

Air yang disibak oleh tangan mungil berkulit putih itu berbunyi, bergoyang menyebabkan gelombang yang menghasilkan warna biru neon saat bersentuhan dengan tangan gadis kecil itu. Senyum sumringah langsung menghiasi wajahnya yang masih terlihat polos, sebelum akhirnya senyuman jahil menghiasi bibirnya.

Sedetik berikutnya, tangannya bergerak cepat menyibak air danau dari atas punggung Pheonix dan menyipratkannya pada kedua temannya yang duduk di belakang. Salah satu temannya berdecak kesal, sementara satunya lagi hanya menutup mata kaget dan segera mengeringkan wajahnya yang basah.

"Kirana!" Anak lelaki dengan kulit sawo matang itu menatap tajam si gadis kecil, Kirana, dengan mata bulat dan besarnya. Kirana hanya tertawa lepas sebagai balasan.

Anak lelaki dengan mata besar itu hendak membalas, memanjangkan tangannya ke bawah, tapi dirinya terlalu lambat, Pheonix yang ditungganggi mereka lebih dulu bermanuver, berbelok tajam ke atas, membuat anak lelaki tadi tersentak kaget, refleks mengenggam pundak lelaki berambut ikal macam domba yang duduk di depannya.

Anak lelaki berambut domba dan Kirana tertawa melihat respon temannya, "masa gitu aja takut sih Andhra!" cibir Kirana pada Andhra yang sudah berwajah pucat, menatap horor pemandangan di bawah yang semakin lama terasa semakin jauh. Bersamaan dengan itu, cengkramannya pada pundak lelaki berambut domba semakin menguat.

"Jangan kenceng-kenceng megangnya, nanti pundak Kenzo remuk loh!" Kirana terkikik, terus menoleh ke belakang hanya untuk mencibir Andhra.

"E-enggak ya!" Andhra langsung menyangkal, anak lelaki yang menengahi mereka, Kenzo, hanya tertawa sebagai respon.

"Kalau Andhra lihat ke bawah pasti takut, lihat saja ke samping atau atas!" Kenzo akhirnya bersuara, berteriak untuk menghalau bunyi angin yang semakin memenuhui telinga mereka.

"Enggak ngaruh kalau ke Andhra kayaknya, dia memang takut aja!" Kirana balas berseru, tapi kali ini pandangannya langsung teralih pada pulau-pulau mengapung yang memenuhi langit yang tidak jauh dari mereka.

"Eh, eh lihat!" Telunjuk Kirana mengarah lurus pada pulau-pulau melayang itu. Kirana tidak tahu ada berapa pulau kecil yang memenuhi langit, tapi yang pasti, jumlahnya tidak sedikit.

Kedua temannya itu ikut menoleh, walau Andhra dengan ragu dan gagap menolehkan pandangannya, tapi akhirnya, wajah pucat Andhra berangsur menghilang saat melihat hal yang dimaksud Kirana.

Pheonix yang ditunganggi mereka melaju cepat, semakin mendekati kumpulan pulau terapung itu. Sayapnya membentang lebar, mengepak dengan ritme yang stabil, memilih rute dimana dirinya bisa terbang dengan bebas. Satu per satu pulau tersebut dilewatinya, perlahan mendekati salah satu pulau yang terlihat mencolok.

Puluhan cahaya bewarna-warni memancar dari pulau itu dengan ribuan kristal yang menjadi pusat terbentuknya cahaya yang menembak hampir ke segala penjuru. Ketiga anak itu menyipitkan matanya, tapi tidak sanggup memalingkan wajah, terpana dengan apa yang dilihat di depan mata mereka.

"Pelangi raksasa." Kenzo bergumam kagum, matanya tidak mampu terlepas dari keindahan pulau terapung itu sebelum akhirnya Pheonix berbelok tajam ke bawah, mengubah rute. Ketiga anak itu berseru kaget, sama-sama mempererat pegangannya setelah sesaat tadi genggaman mereka melonggar. 
 
Tidak seperti yang ketiga anak itu duga, mereka tidak mendarat di pulau kristal tadi, sebaliknya, kini mereka terbang menuju selatan, tempat dimana mereka datang. Ketiga anak itu saling pandang, sepertinya mereka mempunyai pikiran yang sama; mereka belum mau pergi dari dunia ini.

Tanpa memedulikan apa yang ada di benak ketiga anak tersebut, Pheonix itu tetap melaju dengan sayapnya menuju selatan, matanya yang tajam terkunci pada sebuah peron yang berdiri sendiri di tengah hutan. Pohon di sekitar stasiun itu jarang, tidak sepadat di sisi hutan yang lain.

NefelibataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang