"Maaaah!" Seruan nyaring dari lantai dua terdengar jelas oleh seorang wanita berumur 42 yang tengah menata sarapan dari dapur ke meja makan, "apalagi?" Wanita yang dipanggil Mama itu menyahut, balas berseru walau pandangannya masih berfokus pada tugas yang dikerjakannya.
"Jas hujan Kirana mana? Kok gak ada di kamar?" gadis yang menyebut dirinya sebagai Kirana balas menyahut, masih berteriak, beradu dengan derasnya suara hujan di luar rumah.
"Duh, mana Mama tau. Makanya habis pakai itu diberesin, dong!" Mama menggerutu, bibirnya berdecak jengkel, tapi tidak sedetik pun fokusnya hilang saat dirinya memindahkan nasi goreng dari wajan ke piring.
"Coba lihat di gantungan teras! Mungkin belum kamu beresin." Mama mengakhiri omelannya berbarengan dengan bunyi dua piring yang diletakkan di meja makan.
Tidak lama setelah omelan Mama selesai, suara berderap yang heboh dari lantai atas berbunyi, semakin lama semakin dekat sampai akhirnya si biang kehebohan turun ke lantai satu, berlari menuju teras. Mama yang melihat kehebohan anaknya itu hanya bisa menggelengkan kepala sembari duduk menyantap sarapannya, berbeda dengan anak gadisnya itu, dirinya sudah rapih dan siap untuk pergi bekerja.
"Oh iya ada! Makasih Mamah!" Kirana berseru lagi dari teras, barulah sosoknya terlihat berlari ke meja makan, menempati kursinya dengan heboh. Sepertinya gadis itu enggan untuk masuk terlebih dahulu dan bicara dengan volume normal.
Mama Kirana hanya menggelengkan kepalanya, walau dirinya telah bersama dengan anaknya selama 13 tahun, tetap saja sifatnya yang heboh dan ceroboh masih membuatnya sakit kepala.
"Mama pergi dulu ya, bekalnya jangan lupa dibawa, makan malam ada di kulkas, oke?" Wanita berkepala empat itu bangkit dari kursinya, mengacak rambut rapih anak gadisnya sebelum dirinya meraih tas jinjing dan kunci mobilnya.
"Hm-mh! Hati-hati mah!" Suara Kirana terdengar tidak jelas, mulutnya masih dipenuhi nasi gorang buatan mamanya. Mamanya balas melambaikan tangan, membuka pintu rumah dengan tangannya yang lain dan menutupnya kembali.
Dari balik jendela yang dipenuhi butir hujan, mobil sedan putih tampak perlahan keluar dari garasi. Bunyi mesinnya teredam oleh derasnya bunyi hujan, Kirana tidak akan menyadari mobil Mamanya sudah melesat di jalan raya seandainya dia tidak memperhatikan dari balik jendela.
"Ah gawat! Aku bisa telat!" Seruan panik gadis itu kembali terdengar saat dirinya menatap jam dinding di atas televisi yang berada di ruang keluarga.
Tidak kapok-kapok, Kirana kembali bergerak dengan tergesa, menyambar ransel sekolahnya dari sofa dan berlari menuju pintu keluar. "Oh iya!" Larinya terhenti, gadis itu dengan cepat memutar badannya dan berlari kembali ke sofa, mengambil tas berisi biola miliknya.
Pintu rumah dengan nuansa jingga-hijau itu ditutupnya dengan keras akibat dirinya yang tergesa, Kirana merapatkan bibirnya, berharap pintunya tidak kenapa-napa sembari dirinya mengunci cepat pintu rumahnya dan memakai jas hujan transparan, bersiap menembus derasnya hujan dan berlari menuju halte bus.
Sepatu sekolahnya yang dilapisi kantong plastik melompati kubangan di depan rumahnya, tapi gadis itu mendarat dengan tidak mulus, dirinya hampir terjatuh karena kantong plastik yang membuat sepatunya licin.
"Aduh, harus ceppat-cepat cari cover sepatunya kalau tidak mau celaka ..." Kirana bergumam, menatap sepatunya yang terlapisi kantong kresek bewarna putih. Tapi dengan cepat gadis itu melupakan masalahnya dan berlari kecil menuju halte, melupakan fakta bahwa dirinya hampir terjatuh karena terlalu gegabah.
Melewati beberapa rumah dan ruko, gadis itu akhirnya sampai di halte, nyaris tertinggal bus jika dirinya tidak berteriak pada supir untuk menunggu dirinya naik. Tapi gadis itu langsung menemui masalah baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nefelibata
Fantasy||Nefelibata (n.) Someone who lives in the clouds of their own imagination, a cloud-walker.|| "Jika aku bisa membuat semuanya menjadi nyata. Lantas, kenapa tidak?" --------- Kenzo terlalu lelah dengan perlakuan para manusia kepadanya. Kenzo benci ta...