Degradasi Bikin Ngedrop

31 6 0
                                    

Maura mengerang tertahan. Pantas saja kepalanya terasa berdentam-dentam. Dari jendela di sudut kamar asramanya, matahari tampak mulai meninggi. Rupanya ia telah melewatkan waktu sarapan. Kedua matanya terasa sembab, karena menangis terlalu lama.

Bilamana ia tak menangis jika karier yang ia bangun dari kecil tiba-tiba seolah dihempas tsunami. Di tangannya masih tergenggam selembar kertas lusuh yang sejak pagi tadi menjadi sumber kesedihannya. Kertas dengan kop surat organisasi induk olahraga bulu tangkis tempatnya bernaung selama ini.

Gadis berambut panjang yang diikat ke belakang itu masih terngiang-ngiang seluruh kata-kata yang diucapkan pelatihnya sebelum memberikan surat peringatan dari kepala bidang pembinaan dan prestasi kepadanya.

Pelatih berwajah oriental yang juga mantan atlet tunggal putra kebanggaan Indonesia itu tampak kurang senang. Tak ada seulas senyum yang biasanya terlihat menenangkan. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu menepuk pelan bahu Maura sebelum memperlihatkan sebuah surat.

“Ra, Ko Hendra minta maaf karena nggak bisa membela kamu sepenuhnya. Saya tahu kamu sudah memberikan usaha terbaik, saat latihan maupun saat bertanding, tapi begitulah penilaian tim pengurus. Kamu tahu, kan, selalu ada evaluasi per semester. Ada promosi, ada degradasi.”

Maura menerima sepucuk surat itu dengan berat hati. Dari kata-kata awal yang dipilih oleh pelatihnya, ia bisa menebak bahwa yang tertulis dalam surat itu bukanlah sebuah berita baik.

Terlebih lagi, di antara atlet pelatnas sendiri sudah ramai terdengar desas-desus tentang degradasi besar-besaran yang akan dilakukan oleh PBSI.

“A-apaa saya akan dikembalikan ke klub, Ko?” tanya Maura dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Terdengar debas keras dari sang pelatih. Hati Maura terasa semakin terkoyak.

“Tiga bulan, Ra. Tiga bulan waktu kita. Saya meminta penangguhan waktu sama Ko Lius. Saya bilang kalau buruknya performa kamu selama kualifikasi Uber Cup karena cedera lutut yang  kamu alami. Namamu sudah masuk dalam daftar merah untuk dipulangkan. Namun, saya yakin kalau kamu masih bisa meningkatkan prestasi. Dalam tiga bulan kalau nggak ada peningkatan, saya angkat tangan," ucap Hendra lesu. 

Maura berusaha mencerna baik-baik setiap kata dari pelatihnya. Kenyataan yang baru saja diterimanya rasanya lebih sakit dari cedera lutut yang menderanya beberapa saat lalu.

“Bagaimana saya membuktikannya, Ko, jika saya jarang diturunkan dalam turnamen?”

Hendra menatap lurus ke arah Maura. Sudah bukan rahasia jika prestasi sektor tunggal putri Indonesia memang masih belum membaik. PBSI belum bisa mendapatkan atlet yang benar-benar mumpuni secara teknis maupun mental.

Setelah era Susy Susanti, tongkat estafet beralih kepada Mia Audina. Namun, sayang setelah Mia Audina menikah dan berganti kewarganegaraan, bintang tunggal putri Indonesia seakan meredup. Regenerasi tidak berjalan cukup baik.

Banyak pihak menyalahkan PBSI karena minimnya kesempatan yang diberikan kepada atlet-atlet tunggal putri untuk bertanding pada turnamen selevel super series. Dengan alasan pengetatan anggaran, PBSI hanya mengirim nomor-nomor yang memiliki peluang juara.

Sekilas memang wajar, tetapi tentu saja sangat berpengaruh pada perkembangan ketahanan fokus, stamina, dan mental bertanding atlet itu sendiri.

“Nanti saya yang akan melobi urusan itu. Tugas kamu berlatih sebaik-baiknya dan mempersiapkan fisik stamina yang kuat,” kata Hendra menguatkan anak didiknya.

Maura hanya mengangguk pasrah. Hatinya belum tenang walau pelatihnya sudah memberi penjelasan dan berusaha menenangkannya.

“Ya sudah, sekarang kamu kembali ke asrama. Kita ketemu lagi nanti saat latihan sore,” pungkas Hendra sambil berlalu pergi.

Drop Shot of Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang