Awal Kehancuran

316 48 22
                                    

Muncullah my reader. Aku bikin part ini susah banget karena kena writer block gara-gara visual yang aku pinjem, yang mana biasku sendiri kemarin sakit. Ini bisa kebikin karena ngelihat preview Jeyi di bandara tadi (dan sorry kalau nggak ngefeel, masih masa agak blank)

***

Bandung, 7 Desember 2012

"Udah dibilang aku mau cerai, Mas!"

"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Rosa. Anak-anak masih butuh kamu, apalagi Kara."

Mendengar Julian menyebut nama si bungsu entah kenapa bagaikan menyulut api dalam hatinya. Wanita itu mendengkus kesal seraya menatap kedua putra kembarnya yang kini bersembunyi di bawah meja. Kedua bocah itu saling berpelukan.

"Justru karena Kara aku nggak kuat. Aku sayang Kara, tapi apa Mas tahu aku capek ngerawat Kara yang sakit!"

Rosalia berkata lantang tanpa memedulikan ucapannya yang berhasil menyakiti Kara. Bocah itu bukan tak tahu sang mama kesal padanya. Kara menyadari perubahan sikap wanita itu sejak ia sakit.

Julian meradang begitu mendengar kalimat menyakitkan keluar dari bibir wanita itu. Namun sekuat mungkin ia menahan diri untuk tak bermain tangan.

"Dia anak kandung kamu, Rosalia. Anak kita."

Julian mencoba meraih jemari Rosalia. Namun wanita itu dengan cepat menepisnya. Tekatnya sudah bulat. Ia ingin berpisah dengan Julian, cinta pertamanya. Keputusan ini ia ambil setelah merenung berhari-hari. Rosalia ingin tetap menjadi wanita karir, dan baginya Kara yang sakit membuat segala yang ia genggam perlahan sirna.

Rosalia menghela napas pelan. Sudut hatinya menolak. Namun egonya terlalu tinggi untuk ia kalahkan. Wanita itu baru saja akan beranjak pergi ke kamarnya, namun kedua putranya tiba-tiba memeluknya dari samping.

"Ma-ma, maafin Ka-ra."

Bocah itu berucap dengan terbata karena sambil terisak. Sakit sekali rasanya melihat kedua orang tuanya bertengkar. Bocah itu tahu arti kata cerai setelah mencari tahunya kemarin.

Dan entah kenapa mendengar suara terbata Kara membuat Rosalia gelap mata. Dengan kasar ia mendorong tubuh ringkih itu hingga tersungkur.

"Adek!"

Sontak saja hal itu mengundang amarah dari Julian dan Kavi. Si sulung menatap tajam sang mama yang sepertinya baru menyadari kesalahannya. Bocah itu lantas akhirnya membantu sang adik yang kini masih terduduk dengan kepala tertunduk.

"Kara anak kamu sendiri, Rosalia. Aku nggak percaya kamu tega melukai anak kamu sendiri."

Rosalia menggeleng frustrasi. Tak kuat melihat si bungsu yang kini telah diambang kesadaran, wanita itu segera berlari ke arah kamarnya. Tekad yang ia pegang tadi hampir sirna, namun sekuat mungkin ia kembalu meneguhkan keputusannya. Rosalia mengemasi semua pakaian dan beberapa barang pentingnya. Ketika suami dan putra sulungnya sibuk mengurus Kara yang hampir pingsan, Rosalia pergi dengan langkah pelan agar tak ketahuan.

"Maafin Mama, Kara. Mama nggak sanggup ngurus kamu."

***

Tangan kecil itu kini telah berhiaskan sebuah jarum infus. Sebagian wajahnya tertutupi oleh masker oksigen. Kara nyatanya harus berakhir kembali menginap di ruangan beraroma obat ini. Bocah itu pingsan tak lama setelah Rosalia melenggang pergi meninggalkan rumah.

"Papa, Adek tidurnya lama banget."

Kavi duduk di pinggir ranjang sang kembaran. Tangannya tak mau melepas jemari kurus adik yang lahir 30 menit setelahnya itu. Padahal Julian telah membujuknya untuk duduk di sofa saja. Namun ikatan persaudaraan kedua putranya memang kuat. Kavi tak memedulikan tubuhbya yang pegal karena kursi yang ia duduki cukup rendah karena tubuhnya pendek.

I'M SORRY, BROTHER [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang