"QILAAAAAAAAAAAAA!!!" teriak seorang gadis dengan suara cempreng dari arah parkiran, memanggil sosok gadis yang tengah berjalan memasuki gedung kampus.
Gadis yang dipanggil Qila itu berhenti dan memutar tubuhnya ke arah teriakan tersebut. Ia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, sesekali menaikkan tali tas punggung yang bertengger di bahu kanannya, sambil menunggu temannya yang kini sedang berjalan menuju ke arahnya.
"Gak perlu teriak-teriak juga kali," ucap Qilla saat gadis yang meneriaki namanya, yaitu temannya sendiri, sudah berada di sampingnya. Gadis tersebut adalah Azalea Corolline, yang kerap dipanggil Lea oleh teman-temannya.
Raqilla Faesya Permata, atau kerap dipanggil Qilla, merupakan mahasiswa semester 6 di salah satu universitas IT terbaik di Surabaya. Qilla bukanlah penduduk asli kota ini; ia merantau seorang diri ke kota ini untuk melanjutkan pendidikannya.
"Gue gak mau jalan sendiri ke kelas," ujar Lea.
Qilla mengangguk mengerti. Keduanya pun melangkah menuju kelas mereka.
"Anjir! Gedek banget gue lihat sik Naomi. Bisa-bisanya chat gue cuma di-read doang!" Lea mengeluh, memberitahu Qilla.
"Ngapain lo chat dia?" tanya Qilla sambil terkekeh melirik Lea.
"Tugas dari Pak Fatir," balas Lea malas.
Qilla mengangguk. "Masih aja nanya dia, kayak gak ada yang lain aja tempat lo nanya," ujarnya dengan nada menyindir.
Lea hanya menghela napas mendengar balasan Qilla yang terkesan menyindir. Tak terasa mereka sudah sampai di kelas. Banyak teman sekelas yang sudah datang, termasuk Alexa, yang sudah membooking tempat duduk untuk Qilla dan Lea.
"Qilla! Udah jadi tugas pemrograman belum?" tanya seorang laki-laki yang kini sudah berdiri di depan meja Qilla.
Qilla tidak langsung menjawab, terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Hmmm, belum hehhe," jawabnya. Jawaban Qilla tidak memuaskan bagi laki-laki yang bernama Rafael tersebut.
"Bohong itu, Qilla gak mungkin belum jadi."
"Seorang Raqilla belum jadi? Gak mungkin," celetuk beberapa teman sekelasnya yang mendengar percakapan Qilla dan Rafael.
Qilla yang diserbu seperti itu hanya tertawa. Jujur saja, ia memang belum mengerjakan tugas yang dimaksud. Story yang ia upload kemarin malam itu hanya iseng saja, tidak disangka malah membuat teman-teman kelasnya salah paham.
"Beneran gue belum jadi, gaes. Sumpah gak bohong," ucapnya dengan jari membentuk V, menandakan bahwa ia tidak sedang berbohong.
"Tanya aja Lea sama Alexa. Iya kan, cok?" Qilla menyenggol lengan kedua teman dekatnya yang duduk di samping kiri dan kanannya, saat beberapa teman kelasnya menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Lo kan suka bohong, bilangnya belum jadi, eh padahal udah jadi," cetus Alexa.
Dalam hati, Qilla mengumpati Alexa yang malah mengatakan hal tersebut, bukannya membantunya malah semakin memojokkannya. "Bang*t lu, Sa," balasnya.
Rafael kini sudah duduk di kursi depan Qilla. "Kalau udah jadi, minta ya, Qil."
"Tenang aja, yang penting kayak biasa, bakso depan kampus."
"Sama gerobaknya nanti gue beliin," balas Rafael sambil terkekeh menatap Qilla, yang membalasnya dengan anggukan.
Tak lama, dosen yang mereka tunggu datang dan mulai mengajar. Karena dosen ini dikenal killer, suasana kelas menjadi sunyi, tak seperti sebelumnya. Sesekali terdengar deheman dari mahasiswa.
"Ngantuk banget, njir," ucap Qilla dalam hati sambil menyenggol lengan kedua temannya dengan tatapan yang menunjukkan bahwa matanya sudah sangat berat. Seakan mengerti, Alexa dan Lea mengangguk dengan mata berat yang tak jauh berbeda dari Qilla.
Qilla dan beberapa teman sekelasnya kini sedang duduk di kafetaria. Sudah banyak mahasiswa yang datang, sebab ini memang sudah jam makan siang. Qilla sedang menunggu Lea dan Alexa yang tengah memesan makanan.
"Qila, jadi pertukaran mahasiswa ke Malang?" tanya Naomi yang duduk di depan Qilla, membuka percakapan.
"Javier dari kelas sebelah juga daftar, kan?" sambung Rafeal, teman sekelasnya, ikut nimbrung.
Qilla mengangguk. "Bulan September nanti berangkatnya," lanjut Qilla.
"Aku denger kelas A ada yang ikut juga. Tujuan kalian sama gak?" tanya Naomi.
"Gue doang kayaknya yang ke Malang. Kalau yang kelas lain yang Naomi maksud, setahu gue tujuannya berbeda," balas Qilla.
"Mantap-mantap. Semangat, Qil," ucap Rafael yang terlihat kagum dengan keberanian Qilla mengambil risiko mengikuti program pertukaran mahasiswa ini. Sebab setahu mereka, Qilla termasuk mahasiswa malas yang enggan mengikuti organisasi, apalagi program seperti pertukaran mahasiswa yang bakal bertemu orang baru yang tidak dikenalnya sama sekali. Namun, tiba-tiba pengumuman bahwa gadis itu lolos pertukaran mahasiswa membuat teman sekelasnya terkejut. Siapa yang sangka ternyata diam-diam gadis itu mendaftar program tersebut, bahkan kedua temannya tidak ada yang tahu.
Rafael sebenarnya ingin sekali ikut, namun dia memiliki banyak kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan di kampusnya, termasuk organisasi BEM kampus.
"Gak heran sih bakal lolos dia, dulu awal semester juga kan Qilla terpilih untuk pertukaran ke Australia," ucap Lea yang baru saja datang bersama Alexa dengan nampan berisi mangkuk bakso di tangannya, yang kini tengah dipindahkan ke meja.
Alexa mengangguk setuju dengan perkataan Lea. "Kalian mah suka gitu. Gue cuma iseng waktu itu. Siapa yang nyangka juga otak setengah gue ini bakal lolos ke sana. Mana bahasa Inggris gue juga kan kalian tahu sendiri," ujar Qilla malu.
"Bacot, nying."
"Eh, kalian tahu Vania?" tanya Naomi.
"Prodi Informatika?" jawab Alexa.
Naomi mengangguk. "Tunggu, gue ikut ya, gaes!" sambung Kaila, teman sekelas mereka yang merupakan teman dekat Qilla juga. Kaila, yang merupakan inti BEM kampus fakultas mereka, baru datang dan kini sudah duduk di kursi samping Qilla.
Tak lama, teman laki-lakinya, Kenzo, datang menghampiri Rafael. "Gaes, kita duluan ya!" ucapnya kepada para gadis sekelasnya, lalu mengajak Rafael pergi dari kafetaria.
"Makin bersinar aja sik Kenzo," celetuk Qilla sambil terkekeh tanpa melihat arah yang ia puji.
"Ya gak, Lea?" lanjut Qilla sambil menyenggol kaki Lea yang terdiam tengah memandangi punggung sosok dua laki-laki yang kini semakin jauh dari pandangan mereka.
"Apaansi, Qilla," ketus Lea malu-malu.
Mereka tertawa melihat ekspresi malu-malu Lea.
"Lanjut yang tadi, Nao," ujar Alexa.
Naomi melanjutkan ceritanya. "Yang aku denger, Vania katanya jadi simpanan dosen. Tapi belum tahu dosennya siapa," ujar gadis berhijab itu.
"Bangke, seriusan? Denger dari mana lo, Nao?" tanya Lea dengan wajah terkejut, yang dibalas anggukan oleh Naomi.
"Aku gak bohong! Kemarin pas ngumpul anak BEM, yang dibahas itu," lanjut Naomi.
"Tadi gue denger juga gitu, isunya katanya Vania udah dua kali ketahuan selingkuh sama dosen itu," sambung Kaila, menimpali cerita Naomi.
"Dan lebih parahnya lagi, udah dilabrak sama istri sahnya, tapi Vania gak jera-jera," lanjut Kaila.
"Parah banget tuh cewek! Bukannya dia keponakan dosen juga kan?" ujar Alexa.
"Iya..." Belum sempat Kaila membalas perkataan Alexa, Qilla sudah bangkit dari duduknya.
"Gue duluan ya, gaes. Belum sholat," ucap Qilla sambil meletakkan uang pas sesuai harga makanan yang baru ia makan.
"Cepat banget, Qil. Masih juga jam 1," sambung Lea.
"Gue ada urusan yang mau diurus, kalian lanjut gossip-nya dah. Bye!" Qilla pun pergi meninggalkan teman-temannya yang masih betah di kafetaria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raqilla's secret
Teen FictionRaqilla, seorang gadis ceria dan penuh semangat, adalah mahasiswi di salah satu universitas IT terbaik di Surabaya. Di mata teman-temannya, Raqilla selalu tampak bahagia dan tak pernah terlihat bersedih. Namun, di balik wajah bahagianya, ia menyimpa...