Disinilah Qilla sekarang, di kosannya. Setelah menyelesaikan urusannya di kampus, ia tidak menuju perpustakaan, melainkan langsung pulang ke kos. Dia benar-benar lelah. Gadis itu pun merebahkan tubuhnya pada kasur kecil yang biasa ia gunakan di kosannya ini. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Siapapun yang melihatnya sekarang pasti bisa langsung menebak bahwa gadis itu sedang memikul beban yang cukup berat.
Tak lama, terdengar deringan dari ponselnya, tertera nama pemanggil dari sang ibu. Qilla terdiam sejenak lalu menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
"Halo, Bu," sapa Qilla pelan.
"Qilla, kamu di mana sekarang?" suara ibunya terdengar dingin di telinganya.
"Di kos, Bu. Baru pulang dari kampus."
"Kamu ini, nggak ada gunanya sama sekali. Selalu saja menyusahkan!" suara ibunya mulai meninggi. "Apa nggak bisa sekali-sekali kamu berdiri di atas kaki sendiri? Selalu minta uang, minta ini, minta itu!"
Qilla merasakan matanya mulai memanas. "Maaf, Bu. Tapi Qilla benar-benar butuh uang saat ini. Tapi kalo memang nggak ada, nanti Qilla pinjam ke teman Qilla, Bu."
"Pinjam apaan? Ibu nggak pernah ngajarin kamu meminjam uang sana-sini. Awas aja kalau kamu sampai meminjam. Bulan ini Ibu cuma bisa kirim 500 ribu, dan mungkin bulan depan nggak bisa kirim sama sekali!"
Qilla menelan ludah, berusaha menahan air mata. "Iya, Bu. Qilla ngerti."
"Ngerti? Kalau ngerti kenapa masih nyusahin?! Kamu itu benar-benar anak tidak berguna!" cercaan ibunya terus mengalir tanpa henti.
Qilla tidak sanggup lagi mendengar semua lontaran kata-kata pedas tersebut. Tanpa mengucapkan salam, ia langsung mematikan sambungan telepon itu. Ia mendongak menatap langit-langit kamarnya agar air matanya tidak jatuh.
Sebenarnya, ia sangat senang ketika sang ibu menelpon. Di kota asing ini, ia merasa kesepian tanpa ada satu pun sanak saudara di dekatnya. Ia merindukan keluarganya di kampung.
Setelah beberapa jam bekerja keras, Qilla berhasil menyelesaikan tugasnya sendiri dan tugas temannya. Ia merasa sedikit lega karena setidaknya ada pemasukan tambahan yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sekitar pukul 11 pagi, Qilla merasa cukup dengan pekerjaan tugas. Dia memutuskan untuk sarapan, sebab sejak tadi ia belum makan apa pun; kepalanya sudah pusing dan tubuhnya melemah. Ia beristirahat sebentar sebelum mempersiapkan diri untuk kelas sore.
Saat sedang menikmati sarapannya, ia merenung sejenak. Meskipun situasinya tidak mudah, Qilla merasa bangga dengan dirinya sendiri. Ia mampu bertahan dan menemukan cara untuk memenuhi kebutuhannya tanpa sepenuhnya bergantung pada orang lain.
Ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Pesan itu dari salah satu teman sekelasnya, Kenzo.
"Qilla, gimana tugas pemrograman gue? Bisa selesai hari ini?" tulis Kenzo.
Qilla menghela napas. "Iya, gue lagi ngerjain. Sore ini selesai," balasnya.
Menjelang siang, Qilla mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Dengan semangat baru dan tekad yang kuat, ia mengenakan pakaian yang rapi dan membawa semua perlengkapan yang diperlukan.
Sesampainya di kampus, Qilla langsung menuju kelas. Di sana, ia bertemu dengan teman-temannya yang sudah menunggu. Meskipun tugas dan tekanan hidup terus menghantui, Qilla tetap berusaha tersenyum dan menunjukkan semangatnya.
"Hey, Qilla! Udah selesai tugas gue?" tanya Kenzo ketika melihatnya.
"Udah, nih. Mana bayaran gue?" kata Qilla sambil menyerahkan tugas pemrograman yang sudah ia selesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raqilla's secret
Teen FictionRaqilla, seorang gadis ceria dan penuh semangat, adalah mahasiswi di salah satu universitas IT terbaik di Surabaya. Di mata teman-temannya, Raqilla selalu tampak bahagia dan tak pernah terlihat bersedih. Namun, di balik wajah bahagianya, ia menyimpa...