Agen - 43

301 35 6
                                    

Balasan Agan tentang status instagram-nya Gia belum kunjung dibalas oleh si pemilik akun. Bahkan sampai semingguan ini.

Roni bilang, Narti sedang pulang kampung ke daerah gunung kidul—kampung halaman Narti. Kampungnya minim signal. Dampaknya, Agan tidak bisa bertukar informasi soal Gia melalui dalam jaringan. Jangankan Agan, Roni yang pacarnya saja juga tidak bisa bertukar kabar.

Satu hari, dia juga pergi ke rumah Oma. Namun, rumahnya kosong. Tidak ada Tirna ataupun Oma ataupun mobilnya Oma.

Orang-orang di rumah itu entah pergi ke mana.

Di dalam kamarnya, Agan hanya meratap sambil bertanya-tanya tentang postingan Gia waktu itu. Untung aja Agan sempat screenshoot. Selama seminggu ini, semangat Agan juga menurun. Lemah dan lesu menyatu untuk menggerogoti semangat hidup Agan. Dia masih berharap Gia akan membalasnya dengan cepat dan klarifikasi maksud dari postingannya.

Dia sempat cerita ke Saka, namun yang Agan dapatkan hanyalah tawa mengejek dari sabahat karibnya itu. Sialan, bukannya dihibur malah diketawain.

"Udah paling bener disamperin ke Mojokerto. Ngeyel sih lu!" hardik Saka waktu itu.

"Gimana mau nyamperin sih, Sak? Etis begitu?"

"Sah-sah aja. Mojokerto bukan punya Mbak Gia, kok. Lu bisa alibi apa kek! Bilang aja lagi kunjungin sodara di sana terus ada skenario pura-pura ketemu secara kebetulan."

Drama sekali.

"Lu pikir ftv?"

Saka terbahak-bahak.

Agan memangku dagu dengan kepalan tangannya. Tidak merespons Saka karena kepalang galau.

"Gan, level mencintai lu tuh udah yang paling tinggi menjulang lebihin pohon. Wajar lah kalo angin bikin cinta lu goyang. Ini konteksnya bukan karena cinta lu berkurang ya buat Mbak Gia, tapi soal ujian cinta lu. Mungkin aja ini bagian dari ujian cinta lu itu, lu disuruh ikhlas kalo emang bener Mbak Gia yang nikah."

Ujian cinta, katanya Saka. Tapi Agan belum siap kalau ujian cintanya akan sebegininya. Lebih parah dari yang sudah-sudah.

"Sor, kata lu...Mbak Gia nikah, Sor?" cicitnya lemah pada Bongsor, si kucing aggora berwajah belangsak.

Bongsor yang ada di pelukan Agan hanya bisa mengeong paham. Badan Bongsor dielus-elus pelan oleh Agan. Turut menemani Agan dalam ratapan kisah percintaannya yang tidak berkesudahan.

"Lu enak banget sih jadi kucing, tinggal ngeong, makan, sama berak sembarangan doang. Kagak punya akal sama perasaan buat cinta-cintaan." gumam Agan. Tiba-tiba saja Agan mengungkapkan rasa iri hatinya pada seekor kucing.

Bayangkan jadi kucing, hidup mereka lurus-lurus saja. Lahir, makan, berak sembarangan, kawin, ninggalin, kawin lagi, ninggalin lagi, mengacaukan manusia tapi tidak dihukum masa. Tidak memikirkan cinta namun tetap dicintai sebegitunya sama manusia.

Agan iri terhadap kucing-kucing yang siklus hidupnya lurus-lurus aja seperti itu.

Sedangkan dia? Siklus hidupnya hanya berputar pada poros yang itu-itu aja. Plusnya cuma—mencintai Mbak Gia—sebelum modar.

"Apa ini waktunya buat gua move on, Sor?" ucap Agan pada kucing berbulu abu-abu itu.

Bongsor yang sekiranya sudah muak sebab sedari pagi mendengar ocehan Agan pun memilih lari dari pelukan pria itu.

"Iya, iya. Gak move on," Agan tanya sendiri, dia jawab sendiri.

Daripada terus meratap tanpa kepastian, Agan memilih bangkit dari rebahannya. Dia pun keluar kamar dan hanya menemukan rumahnya kosong. Tadi pagi, Abah dan Tiara pamit pergi ke Thamrin City. Tinggallah Agan dan Awi di rumah.

Agen Agan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang