Pengen Ngekos (part 4)

2 1 0
                                    

"Ya itu juga gue paksain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ya itu juga gue paksain. Aslinya mah gue capek banget, Min. Lo lihat aja di google maps seberapa jauh Cilandak Jatiuwung. Tapi lebih parah real-nya. Gempor gue tiap hari mesti naik motor hampir empat jam pulang pergi. Tiap nyampe rumah, pinggang gue berasa kayak aki-aki habis main tiga ronde," keluh Ali.

Jasmine yang tadinya sempat merasa iba membayangkan kondisi sahabatnya, mendadak melayangkan tatapan tajam. Tisu di sampingnya pun diremas-remas lalu dilemparkan ke arah Ali. "Omongan lo nggak ada filter!"

Ali terbahak-bahak. "Emang lo mikirin apaan sih? Mesum lo ya?" tuduh Ali.

"Barusan lo bilang aki-aki main tiga ronde," sungut Jasmine tak mau kalah. Ia tidak salah tangkap maksud Ali, kan?

"Lah emang iya. Main bekel maksud gue. Nggak ada filter apanya? Pikiran lo tuh yang nggak ada filter," balas Ali sembari menjulurkan lidah. Puas menggoda sahabatnya.

"Sialan lo!" umpat Jasmine. "Eh, tapi kalo lo ngekos, kita jadi makin nggak bisa ketemuan dong." Kali ini wajah gadis itu memelas. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba menyelusup dalam hatinya.

"Ciee ... yang bakal kangen ama gue." Lagi-lagi jiwa usil Ali meronta.

Jasmine hanya berdecak. Ia bahkan tidak mengelak tuduhan Ali. Hanya bibirnya saja yang tampak manyun. Kayaknya gue salah ngomong, deh.

Ali tertawa kecil melihat ekspresi perempuan di hadapannya. "Gue janji, tiap jumat pulang kantor gue langsung ke Cilandak, dan balik lagi ke Jatiuwung hari minggu malam. Gimana? Jadi, kalo lo kangen ama gue, ke rumah gue aja hari Jumat. Lo tungguin tuh gue pulang kantor, biar berasa kayak pasutri. Iya nggak?" Ali tersenyum lebar sambil menaik turunkan alisnya.

"Najis!"

Tawa Ali meledak mendengar jawaban Jasmine. "Gitu banget sih, Min?" Susah payah Ali meredakan tawanya.

"Auk ah, bodo amat lah lo mau ngekos kek, mau nyungsep kek. Suka-suka lo aja, dah." Jasmine kesal karena rasa kehilangannya setelah mendengar rencana Ali, malah ditanggapi dengan candaan.

"Sorry-sorry. Oke sekarang gue serius, nih."

"Apa lagi?" tanya Jasmine ketus. Sifat Ali yang memang jail sejak mereka kecil, membuat gadis itu tidak terlalu berharap banyak dengan obrolan mereka selanjutnya.

"Luka lo, udah sembuh belum?"

"Luka apaan?" Jasmine malah balik bertanya dengan wajah bengong.

"Yang di sini." Ali menunjuk dadanya sendiri. Meski tersenyum, tetapi jelas terlihat ada raut pengharapan di wajahnya.

Niat Jasmine yang tadinya hendak ke wastafel mencuci tangan, urung saat mendengar pertanyaan Ali. Mendadak perasaannya berdebar. Kekhawatirannya yang sesaat lalu sempat hilang, kini hadir kembali. Susah payah ia menelan ludah. Bingung merangkai kata menjawab pertanyaan Ali.

"Kalo udah, boleh nggak kalo sekarang gue jadi pacar lo?" Entah bagaimana, Ali sangat lihai memainkan mimik wajah. Padahal beberapa detik lalu lelaki itu masih tertawa puas menjaili sahabatnya, tetapi kini ekspresinya sudah lebih serius. Sorot matanya yang penuh harap itu, semakin membuat Jasmine kehilangan kata-kata.

"Gimana, ya, Al? Luka, sih, udah sembuh ...."

"Tapi?" tanya Ali dengan nada rendah.

"Jujur ... gue takut pacaran lagi. Apalagi sama lo, satu-satunya orang yang selalu ada buat gue. Dua tahun lalu, waktu lo nembak gue, gue pernah bilang kan, kalo gue takut kehilangan lo. Terus yang namanya pacaran, cuma dua kemungkinannya. Kalo nggak nikah, ya putus. Dan kalo putus, yakin kita masih bisa sahabatan? Lo lihat sendiri kan gimana akhirnya gue putus sama mantan gue?"

"Gue janji nggak akan nyakitin lo, Min." Ali menekankan kata janji untuk meyakinkan Jasmine. Kedua netranya lurus menatap Jasmine.

"Gue tahu, gue percaya itu. Tapi gimana kalo akhirnya malah gue yang nyakitin lo?" Jasmine balik bertanya. Tanpa berjanji pun, ia yakin Ali tidak akan menyakitinya. Berteman sejak mereka masih kecil, sudah banyak kebaikan Ali yang dirasakan oleh Jasmine. Meskipun sering usil, tetapi perhatian dan kepedulian lelaki itu terhadapnya tidak perlu diragukan lagi. Namun, bagaimana jika Jasmine yang gagal menjadi sosok terbaik bagi Ali?

Ali terdiam. Ia tidak tahu kata-kata apa lagi yang bisa diucapkan untuk meyakinkan Jasmine.

"Sorry, Al. Gue masih nyaman sama hubungan kita yang kayak gini. Gue sayang sama lo, saking sayangnya gue malah takut ngecewain lo nantinya. Lo nggak apa-apa, 'kan?"

Ali mengangguk. Meskipun keinginannya lagi-lagi ditolak, tapi setidaknya ia masih bisa mendengar kata sayang terucap dari bibir perempuan yang disukainya. "Ya udah, santai aja. Sorry kalo pertanyaan gue bikin lo nggak nyaman."

Jasmine mengangguk bersamaan dengan senyum manis di wajah. Mengalihkan pembicaraan, ia berkata, "By the way, besok kalo lo mau pindahan, kabarin gue, ya. Gue ikut."

"Serius lo mau ikut? Jauh banget tahu. Lo bakal nyesel ikut gue pindahan."

"Gue pengen lihat seberapa jauh jaraknya sampai lo mesti ngekos segala." Jasmine kekeh dengan keinginannya. "Terus janji lo yang tadi, tiap Jumat ke Cilandak, beneran?"

"Gue janji. Hujan badai sekali pun gue bakal tetap ke Cilandak tiap Jumat. Demi lo, biar nggak uring-uringan karena nggak ngelihat gue seminggu." Meskipun ajakan pacarannya ditolak, tapi boleh dong Ali sedikit menyombongkan diri.

"Dih, apaan, sih!" Perempuan berambut sepunggung itu tertawa mendengar ledekan sahabatnya.

"Ya udah kalo mau lo ikut gue besok, tapi awas ya lo minta gue putar balik pulang gara-gara nggak tahan kelamaan duduk di motor."

"Beres." Jasmine beranjak dari kursi melanjutkan niatnya ke wastafel yang tadi tertunda. Meninggalkan Ali yang masih duduk sambil menjaga sling bag milik Jasmine.

Gue mesti ngapain lagi, Min, biar lo mau jadi pacar gue?

***

(Dipublikasikan tanggal 08 Agustus 2024 pukul 22:06 WIB)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diary CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang