The Last Battle

15 4 0
                                        

Tandain jika terdapat Typo^^

Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis. 

Happy Reading

---

Memang benar, jika manusia sedang berada di ambang kematian, adrenaline dalam tubuh mereka akan terpacu dan membuatnya melakukan hal-hal yang sebelumnya tak berani ia lakukan.

Alaia memandangi tangannya yang kini berlumuran darah, cairan kental berwarna merah itu mengalir deras dari orang di depannya, lebih tepatnya pergelangan orang di depannya.

"Bajingan..!!" Xavier berteriak kesal melihat tangannya yang sudah hancur setengah. "Tak akan ada yang selamat dari kalian," tuturnya dengan nada kebencian pada lelaki yang menembaknya.

Liandi.

Lelaki itu menampilkan seringai kecil kemenangan, "Kau yang keparat gila, mesum dan psikopat. Mencintai adiknya sendiri yang terlebih itu adik kandungmu, dasar" Sarkas Liandi.

Alaia menatap nanar kondisi lelaki di depannya yang sudah kacau balau, berantakan. Bibirnya robek dan bekas kebiruan dimana-mana, bahkan bajunya sudah robek sana-sini.

"Kau mengambil milikku!" Xavier menerjang cepat, menggunakan tangan kirinya yang masih baik-baik saja. Ia mengayunkan belati itu dengan lihai seakan memang terbiasa dengan tangan kiri.

Liandi kewalahan, "Heh, aku meremehkanmu," Ejeknya.

Dengan fisiknya yang sudah kehilangan banyak darah itu, Xavier terlalu kuat untuk di bilang manusia. Iblis, mungkin?. Tangan itu terus berayun tidak peduli hal itu membuat darah semakin deras mengalir dari tangannya.

Alaia khawatir, "K-kak Xavier—"Buagh!. Belum sempat ia melanjutkan perkataannya, Liandi terkena satu pukulan atau lebih tepatnya tendangan telak dibagian pinggangnya.

Tepat dimana ia ditusuk beberapa saat yang lalu.

Ia langsung memuntahkan darah membuat Alaia berlari khawatir kearahnya. "Liandi!!" Melihat hal itu, Xavier geram dan segera mencengkram pundak Alaia lalu menariknya—menyeretnya.

Tentu saja Alaia memberontak, gadis itu ingin menghampiri kekasihnya. "Lepaskan! Lepaskan aku!" pekiknya memberontak. Xavier menggigit bibir dan mengencangkan cengkraman tangannya.

Rasanya bahu Alaia akan hancur saat itu juga.

"Jangan melawan, Alaia. Ini demi kebaikanmu," ucapnya sambil terus menyeret tubuh kecil itu, Liandi yang masih kesakitan tetap terus berusaha meraih Alaia. "Gak mau! Kakak jahat! Lepasin aku, gak?!"

Xavier dibuat geram karenanya. Ia langsung membalikkan tubuh Alaia sehingga menghadap dirinya, mencengkram kedua bahunya yang rapuh dan mensejajarkan tingginya dengan adik tercintanya seraya berkata, "Aku tidak jahat, Alaia! Ini demi kebaikan mu, kebaikan kita! Aku janji, aku janji kita akan hidup bahagia setelah ini, oke? Seperti impianmu saat masih kecil, tinggal di rumah bagaikan kastil, memakai pakaian indah setiap hari, kolam renang indoor dan rumah pohon di halaman belakangnya. Sesuai 'kan dengan keinginanmu?!" Nada frustasinya itu membuat Alaia tersentak dan menangis kemudian.

Ia merutuki kecengengannya. Tak bisa berbuat apa-apa dan hanya menjadi beban bagi orang lain.

"Gak!, kalau demi mewujudkan itu harus mengorbankan semua nyawa orang tersayang, aku gak mau, kak! Caramu salah!" Ia kembali memberontak, mencoba menyingkirkan tangan kekar yang mencengkramnya sekuat tenaga meski sudah hancur.

Xavier menggemertakkan giginya, "BAGAIMANA BISA AKU SALAH?! Kau tau seberapa besar perjuanganku agar bisa mewujudkan hal itu?!  AKU MELAKUKANNYA DEMI KAMU, KARENA AKU MENCINTAIMU!"

Satu Yang Tersisa [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang