Chapter 1: Ramalan

54 8 0
                                    

Halo! Namaku Taufan atau panjanhnya Springwind Taufan! Bundaku memberikanku nama itu karena aku lahir di akhir musim semi yang berangin! Unik, 'kan? Hehe.

Aku kelas 1 SMP Elemental dan juga gadis SMP biasa─

Brak!

"WOI, CEPETAN GANTIAN MANDINYA! GUE JUGA MAU MANDI, ADEK ASU!"

"MARIPOS! JANGAN TERIAK-TERIAK DALAM RUMAH!!"

Taufan yang enak bermonolog di depan kaca buru-buru keluar setelah memakai seragam sekolahnya. Sesaat dia keluar kamar mandi, tidak lupa Taufan dan kakaknya -Maripos- saling lempar tatapan maut.

Adek asu!

Kakak sialan!

Begitulah mereka mengumpat lewat ikatan cinta- batin dengan tatapan maut.

"Taufan. Kemarin, hasil ulanganmu dikembalikan, ya? Coba Bunda lihat." Langkah Taufan terhenti kala Bundanya -Kuputeri- memanggilnya dengan tangan terulur.

"Waduh... Ufan ngaku aja, deh..." lirih Taufan sambil mengeluarkan kertas ulangan pada Bunda. "...ini nilai terendah dikelas."

<B.Inggris 42>
<Matematika 28>

Bunda menatap hasil ulangan anaknya sedikit tidak percaya. "Ini benar-benar nilai terendah?"

" 'Kan beda pas Ufan SD dulu..."

Bunda sweatdrop, menatap lekat nilai-nilai Taufan. "Tapi kata bu Ratna, Hali nggak pernah dapat nilai di bawah 90, lho..."

Taufan mengerutkan alisnya sebal. "Bunda! Si Hali itu murid terpintar di sekolah! Dia itu bintang harapan sekolah, jangan samakan aku dengannya."

Bunda menghela napas. "Iya juga sih, dia pintar di segala mapel dan olahraga, 'kan? Padahal dulu kalian sering main bersama."

"Kalau dibanding-bandingin terus Ufan marah nih!" Taufan membuka pintu rumahnya sedikit kesal.

Setelah Taufan keluar menutup pintu, orang disebelahnya keluar dan menatap Taufan.

Itu tetangga sebelah rumahnya. Halilintar.

"Pagi...!" Taufan melambai padanya dengan senyum sedikit canggung.

"...hn."

Cuek banget balesnya...

Dulu mereka memang sering main bareng. Saat Bundanya pulang telat juga, Taufan sering main (ngerusuh) ke rumah Halilintar.

Tapi semenjak masuk SMP, hubungan mereka jadi berubah.

Buset, dah! Kenapa jalannya cepet begitu, sih? Padahal kita 'kan teman kecil.

Taufan sweatdrop, melihat kecepatan Halilintar berjalan seolah menjauhi Taufan.

Jujur, Taufan sedih baget kalau Halilintar bersikap sedingin es batu yang ditabrak Titanic.

Sudahlah mereka beda kelas, dirinya juga bodoh. Topik obrolan pun tidak ada.

Saat pertama kali melihat Halilintar memakai seragam SMP, Taufan suka deg-degan memperhatikannya.

Rambutnya yang halus, sikapnya yang selalu cuek, sosok yang membuat semua orang ingin melihatnya.

Taufan tahu kalau Halilintar sangat dingin padanya.

Tapi dialah orang yang aku suka.

"Haha... mana bisa ngomong gitu ke dia..." gumam Taufan menenggelamkan wajah memerahnya di atas meja.

Taufan's Breeze Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang