INTRO

32 6 0
                                    


"Ah! Mau ngopi!"

Satu bait melodi yang tercetak pada kertas partitur tiba-tiba berhenti di not balok kelima. Jemari lentik yang sudah tiga jam menari di atas tuts grand piano, memilih beristirahat sejenak. Dara ayu dengan kemeja putih dan rok pendek diatas lutut berwarna merah muda, mengalihkan pandang dari partitur yang menjemukan lalu mengangkat telefon genggam yang dipakaikan case bertuliskan Anjani's di bagian belakang. Ia rapihkan terlebih dahulu rambut panjang lurus sepunggungnya sembari menunggu sambungan telefonnya diangkat oleh seseorang, digulung asal kemudian satukan dengan jepit rambut yang juga senada dengan warna rok-nya.

"Halo Ilana my bestie, Lo lagi di studio ruang berapa?" gadis itu langsung bertanya ketika ia sudah dengar sapaan dari arah seberang.

"Gue kan lagi pameran di Jogja, Jan. Baru balik hari minggu."

Perempuan bernama Anjani menutup mata dan memajukan bibirnya ketika mendengar jawaban sahabat karibnya, "gue lupa Lan, sorry."

"It's okay, Lo butuh apa?"

"Lan, Lo kalau beli  hot choco di kafe mana, deh? Bisa delivery aja nggak? Gue butuh kopi, mister Yudhis minta aransemennya diganti padahal resital gue tinggal dua hari lagi."

Dari seberang, suara Ilana tajam dan penuh penekanan. "Makanya, keluar dari studio! Lo mana tahu di depan studio ada kafe."

"Oh, iya? Yasudah kalau gitu gue ke depan saja, deh!"

Tuts piano di depan Anjani di tekan brutal setelah menutup sambungan telefonnya dengan Ilana. Dia benar-benar suntuk karena resitalnya tinggal dua hari lagi, dan saat ini Anjani sudah duduk di depan piano-nya selama 3 jam sendirian. Mister Yudhis, -pelatih piano Anjani, memintanya untuk mencoba mengubah aransemen bait terakhir dari partitur lagu yang ingin Anjani mainkan di resitalnya, yaitu First Love milik penyanyi Nikka Costa.

Mister Yudhis sama sekali tidak memaksa Anjani untuk duduk sendirian, ia berniat akan ulurkan tangan sedari awal. Tapi gadis keras kepala ini meminta untuk tinggalkan dirinya di ruangan dengan cat warna merah muda ini sendiri, agar dia bisa fokus mencoba segala improvisasi di kepalanya.

Namun yang terjadi justru otaknya buntu dan tidak ada ide yang muncul. Anjani akhirnya berdiri dari duduknya kemudian berjalan keluar dari ruangan yang didesain khusus untuknya, mencari Mister Yudhis untuk meminta izin mencari angin sebentar. Ralat, Anjani tidak benar-benar mencari karena perempuan itu hanya menengok kepala ke kanan dan kiri sambil mengurai kembali rambutnya, lalu melenggang pergi.

Dan disinilah Anjani berada, pada satu kafe yang baru pernah ia kunjungi semenjak ia pindah ke Bandung 2 minggu lalu. Kafe yang ternyata lumayan besar di dalamnya. Anjani miringkan kepalanya saat membaca nama kafe bernuansa putih ini.

"Kafe Sendu? Galau banget kayaknya yang punya."

Meski pada awalnya dara ayu itu menyinggung betapa pemilik kafe ini terlihat sangat aneh dalam memilih nama usahanya, tapi akhirnya Anjani masuk juga ke dalam. Netranya berkeliling, mencari dimana sudut tempat ia bisa memesan satu menu yang sangat ingin ia seruput sekarang.

"Ah, disana!"

Anjani bawa kakinya berjalan ke arah kiri dari pintu masuk ketika matanya sudah temukan papan kayu bertuliskan 'cashier' yang tergantung di showcase dessert, kemudian kepalanya langsung menunduk membaca dengan seksama buku menu yang sengaja dibuka di atas meja kasir.

"Kak, aku mau pes-"

Kepala Anjani mendongak, berusaha memastikan agar suaranya terdengar. Tapi lidahnya kelu ketika yang ia lihat adalah malaikat tanpa sayap yang sepertinya baru saja turun dari surga. Seorang pria di depannya membalikkan badan secepat mungkin saat suara Anjani terdengar, tapi gadis itu justru melihat adegan itu pelan, sepelan adegan slow motion drama Korea yang sering ia tonton. Kulit seseorang di depannya seputih susu, dengan guratan wajah hampir sempurna. Hidung yang bangir, mulut yang tidak terlalu tipis, dan alis yang tebal. Tubuhnya jangkung dengan rambut hitam legam, tidak terlalu kurus pun tidak terlalu kekar. Bahkan Anjani bisa lihat bagaimana lesung pipi tercipta ketika malaikat itu tarik ujung bibirnya.

"Selamat datang, sil-"

Sementara insan yang lain justru termenung seperti patung. Senyumnya menghilang ketika ia balikkan badan dan lihat satu bidadari cantik di depan matanya. Pipi gembul berlesung pipi di kiri, juga hidung mancung mungil yang menggemaskan. Dengan satu tahi lalat kecil di tulang hidung serta rambut legam sepunggung. Serta netra dengan iris coklat dan bulu mata yang lentik. Pria itu yakin ia berhalusinasi, ia yakin sedang berada dalam mimpi. Ia yakin harusnya sosok ini, tidak berdiri disini.

☕︎

Cerita ini dimulai pada : 18 Agustus 2024

LOVVEE LATTE | PARK SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang