♫ 1. Say No (Yes) to Bandung!

12 5 0
                                    

Rencana Tuhan itu indah.

Maka sebagai pemeran dalam skenario-Nya, kita tidak perlu untuk gelisah.

Perempuan cantik dengan rambut yang digulung asal lalu disatukan dengan tusuk konde, membanting tubuhnya dan bersandar pada sofa putih di ruang keluarga. Di belakang, kedua orang tuanya hanya bisa menggelengkan kepala. Sudah hampir dua minggu mereka pindah dari Jakarta ke Bandung, namun anak bungsu mereka masih saja mengunci mulut karena pundung.

"Dek makan dulu, kamu sudah latihan dari pagi, lho."

Suara dari wanita paruh baya mengalihkan fokus dara itu dari layar televisi, "Iya nanti, Bun." Yang sedang duduk di sofa menjawab sekenanya. 

Seorang lelaki yang baru turun dari tangga dengan membawa laptop yang terbuka di tangan kirinya, langsung duduk di sebelah perempuan itu. Disusul dengan pria paruh baya yang ikut duduk melingkar di ruang keluarga. Sementara wanita yang mereka panggil bunda, sibuk di dapur menyiapkan satu toples cookies dan menyeduh 2 cangkir teh. Lantas menuang susu full cream untuk dua anaknya.

"Masih ngambek Lo, Dek? Sudah mau dua minggu juga. Kalau nggak mau pindah, ikut Ayah saja sana. Dasar anak ayah!" Lelaki yang usianya beda tiga tahun dengan perempuan disebelahnya menggoda, masih sibuk dengan laptopnya.

"Mana ada aku anak ayah! Aku sudah ikut bunda dari kecil, tahu. Memangnya Kak Kael, baru ikut papah pas lulus SMA. Dasar anak mamah!" Gadis cantik itu tidak mau kalah menggoda kakak lelakinya.

Dari dapur, sang bunda bawakan nampan berisi minuman dan camilan. Lalu letakkan di atas meja di tengah sofa yang melingkar. "Sudah, Kael sama Anjani anak bunda sama papah."

Kedua anak muda itu diam membisu. Tidak lagi keluarkan kata apapun karena jawaban bunda mereka mutlak. Mereka kini anak bunda dan papah. Bukan bunda dan ayah, atau mamah dan papah. Sebuah canda dan gurauan yang kini sudah bisa mereka tertawakan semenjak bertemu 10 tahun yang lalu.

"Lagian kenapa ngambek mulu, sih? Kuliah Lo kan sudah selesai, disini juga Lo latihan di cabang studio papah." Kael kembali menggoda adiknya.

"Kakak mana tahu, kakak kan nggak punya teman di Jakarta!" 

"Halah, nggak mau jauh dari cowok Lo, kan?"

"KAKAK APAAN SIH?! AKU NGGAK PUNYA COWOK!"

"Yang waktu itu antar ke studio?"

"ITU CUMA TEMAN!"

"Kasian banget dia cuma dianggap temen."

Serbuan tinju mendarat di lengan Kael dari Anjani. Gadis itu luapkan amarahnya, bukan hanya karena kakaknya menuduh dia dan seseorang yang pernah mengantarnya berlatih memiliki hubungan lebih. Tapi karena kakaknya juga mengatakan itu di depan kedua orang tuanya.

Maka sebelum pertarungan ini semakin membesar, kepala keluarga di rumah berlantai dua itu angkat suara. "Kael, jangan digodain terus adiknya. Kalau dia mau punya cowok ya nggak papa, asal berani ketemu papah." Ucap pria yang sekarang masih berbalut jas hitam dan kemeja putih, belum sempat ia lepas.

"Kok adek boleh punya cowok, aku nggak boleh punya cewek?" Sang kakak menyuarakan protes.

Bunda elus surai putra sulungnya, "kalau kamu sudah siap ya nggak papa juga bang, tapi nyenengin anak orang kan bukan cuma sekedar setiap hari ngomong sayang. Abang ngerti maksud bunda, kan?" Senyum terukir setelah wanita paruh baya itu berucap.

Kael mengerti, di usianya saat ini memiliki seseorang yang dekat sudah pasti bukan hanya sebagai pelampiasan rasa lelah. Tapi sudah harus memiliki arah dan tujuan. Dengan alasan itulah, papah kandung dan bunda sambungnya tidak ingin Kael hanya bermain-main dan memperkenalkan seseorang ke mereka, hanya untuk memuaskan rasa penasarannya memiliki sebuah hubungan.

LOVVEE LATTE | PARK SUNGHOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang