Kedua remaja itu kini sedang berada di halaman belakang sekolah. Mereka berdua duduk di kursi panjang dengan pemandangan kolam ikan di hadapan mereka."Gue bangun kesiangan, makanya telat dateng." Haechan mulai membuka suara.
"Udah gue duga." respon Renjun.
Haechan terdengar menghela napas dan itu membuat Renjun menoleh ke arahnya.
"Gue mimpi, mimpi itu kayak nyata. Gue sampe susah bangun dan jadinya bikin gue bangun kesiangan." kata Haechan.
Renjun sedikit bingung karena ucapan laki-laki itu.
"Mimpi? Mimpi... apa?" tanya Renjun.
Sebelum kembali berbicara, Haechan seperti sedang sudah payah menelan ludah. Lagi-lagi dia menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Renjun.
"Gue mimpi... tiba-tiba perjodohan kita batal." Haechan melirik Renjun, "Padahal di mimpi itu, kita berdua udah sama-sama sayang dan gamau kehilangan satu sama lain."
Laki-laki itu pun menundukkan kepala nya sekarang, "Itu karena ulah gue sendiri, kesalahan gue. Yang pada akhirnya... itu bikin kita harus pisah."
Renjun mendengarkan cerita Haechan dengan serius. Entah kenapa, tetapi Renjun merasa sedih mendengarnya.
"Lo..." Haechan kembali menatap Renjun, "...lo gak nolak perjodohan kita, kan?"
Renjun perlahan menggeleng, "Ng...ga. Gue.. gak nolak, tapi... gue juga gak bilang gue nerima perjodohan ini... kan?"
Tatapan Haechan mulai berubah, matanya menatap tajam ke arah Renjun, "Jadi lo menggantungkan perjodohan ini?"
Jantung Renjun berdebar sangat kencang, ia merasa takut sekarang karena pertanyaan dan juga tatapan dari laki-laki itu.
"B...b-bukan gitu..."
Untuk ketiga kalinya Haechan menghela napas, "Lo gatau kan, selama ini gue sebenernya udah sayang banget sama lo, Ren."
Hampir saja Renjun lupa caranya untuk bernapas, mendengar Haechan berkata begitu.
"Semenjak gue berani buat usilin lo, itu tuh karena gue juga punya sebuah perasaan yang awalnya gue juga gatau itu perasaan apa. Tapi semakin kesini, gue pun sadar. Gue tuh sayang sama lo, gue.. jatuh cinta sama lo." jelas Haechan, "Yah anggap aja nyari kesempatan, dimana gue ngeliat finansial keluarga lo yang lagi berantakan dan disini gue ngomong ke keluarga gue supaya bantu keluarga lo, dengan syarat harus jodohin gue sama lo."
Tidak sadar, sejak tadi Renjun mengepalkan kedua tangan nya dengan erat. Dia merasa sangat emosi, namun ia juga berusaha untuk menahan nya.
"Karena itu satu-satunya cara supaya gue bisa terus bareng-bareng sama lo." ucapnya, Haechan merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kertas origami yang sudah ia lipat menjadi bentuk cincin, "Jadi, will you-"
Belum sempat meneruskan kata-katanya, Renjun berdiri dari duduknya kemudian berlari, pergi dari sana.
Haechan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan remaja itu. Sakit?? Tentu, ia merasa sakit hati. Apakah secara tidak langsung... Renjun menolaknya?
.
.
.Renjun melirik kursi di sebelahnya yang kosong sejak istirahat pertama tadi. Ya, sejak kejadian di belakang sekolah itu, entah kemana pergi Haechan. Bahkan dia tidak mengikuti mata pembelajaran hingga jam pulang.
Setelah bel pulang berbunyi, Renjun langsung membereskan alat tulisnya ke dalam. Ia menghela napas, kemudian dia juga membereskan alat tulis Haechan ke dalam tas laki-laki itu. Renjun pun keluar dari kelas dan berjalan menuju gerbang.
"Ren."
Renjun menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia pun berbalik, menatap orang itu dengan wajah tanpa ekspresi.
"Naik." ucap orang itu.
Tanpa berbicara apa-apa, Renjun pun naik dan duduk di jok belakang motor orang itu. Lalu laki-laki itu langsung menancap gas keluar dari area sekolah.
"C-chan..." pamggil Renjun dengan suara yang sedikit gugup.
"Hm? Kenapa?"
"Gue minta maaf."
Haechan menyunggingkan sudut bibirnya sambil terkekeh singkat, "Kalo gue gak nyuruh lo naik ke motor gue, berarti gue gak maafin lo."
Mendengar itu, Renjun hanya tersenyum tipis.
"Oh ya. Makasih ya udah beresin barang-barang gue, terus lo bawain juga tas gue." ujar Haechan, "Gue kira lo udah gak peduli lagi sama gue."
"Gue juga minta maaf, ya, soal kata-kata gue yang tadi." lanjutnya.
"Sebenernya gue kesinggung sama ucapan lo itu, lo bisa-bisanya manfaatin keadaan keluarga gue. Tapi gue juga mikir lagi, kalo gak ada lo, bakal makin sengsara juga keluarga gue. Lo udah bantu banyak, makasih, ya?" kata Renjun.
Tanpa sepengetahuan Renjun, Haechan kini tersenyum cukup lebar. Ia menarik kedua tangan Renjun untuk melingkar pada tubuhnya.
Renjun tersenyum, dia pun mengeratkan pelukan nya pada tubuh Haechan lalu menyandarkan kepala nya ke bahu Haechan.
Singkatnya, mereka pun sampai di halaman rumah Renjun. Remaja itu pun dari motor Haechan.
"Semalem orang tua gue nyuruh gue ngajak lo ke rumah, kalo bisa sih nginep katanya, gimana?"
Haechan menatap remaja itu, tersenyum kemudian mengelus lembut rambutnya, "Lain kali aja, ya? Ada sesuatu yang harus gue urusin abis ini. Bilangin ke ayah sama ibu, salamin juga."
Renjun mengangguk, "Yaudah kalo gitu. Lo... hati-hati ya pulang nya."
"Iya, pasti. Oh iya! Bentar." Haechan merogoh saku jaketnya, meraih tangan Renjun. Ia memasangkan cincin yang ia buat dari kertas origami itu pada jari manis Renjun, "Tadi pagi sempet gak jadi masang nya ke jari lo."
Renjun pun tertawa karena itu, "Lucu. Makasih, ya."
Haechan mengangguk, "Satu lagi." Haechan mendekati Renjun, kemudian mengecup singkat bibir remaja itu, "Dah ya, gue pulang. Bye!"
Haechan memutar balik motor nya lalu pergi dari sana. Renjun masih mematung di tempatnya, namun lama-lama ia pun tersenyum kemudian dengan segera masuk ke dalam rumahnya.
.
.
.guys... please vote & komen yaaa
kalo mau lanjut
gamau juga gapapa :b
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking 2 | Hyuckren
أدب الهواةAnother Story of Matchmaking Hyuckren - bxb! homophobic can left this