Gone

8 0 0
                                    

Coretan demi coretan yang ia baca, ada satu coretan yang begitu menarik perhatiannya. Sebuah tulisan dalam bahasa asing yang mana negara itu ingin sekali gadis itu kunjungi. Ia menangis saat membaca semuanya. Entah mengapa coretan itu seolah coretan terakhir dari gadis pemilik nama Auriga. Dalam sunyinya sang gulita, ia menangis. Menangis sejadi-jadinya, tanpa ada yang mengetahui. Ia memeluk tubuh lemah gadis itu, ia tak tahu jika selama ini sahabat perempuannya itu begitu banyak memendam luka yang tak pernah ia ketahui. Luka sayat, luka fisik bahkan luka batin yang tak seharusnya ia terima. Luka batin miliknya membuat gadis itu selalu menyembunyikan perasaannya perasaan yang sungguh tersiksa.
Yang ia dan keluarganya tahu, gadis itu adalah gadis yang bisa tersenyum cerah, nyatanya senyum itu adalah sebuah kepalsuan untuk menutup segala luka.

Ekg yang terpasang masih berbunyi, ia tak tahu sampai kapan ekg itu akan terpasang pada tubuh gadis itu. Ia masih berharap gadis itu membuka matanya dan ia bisa memeluk gadis itu tanpa ada halangan luka dari gadis itu. Namun, ia pernah mendengar jika gadis itu pernah mengatakan sesuatu padanya. Ia ingat jika dirinya tak ubahnya sang Antares dan Betelgeuse.
Gadis itu benar, jika tak lama lagi dirinya akan menjadi supernova. Mimpinya untuk menjadi sang sirius segera terwujud. Tanpa sadar ia terlelap danmengarungi dunia mimpi yang begitu indah, bahkan ia tak sadar jika ada sebuah gerakan kecil menyentuh permukaan kulitnya.

Satu tahun sudah manik hazel itu terpejam, namun ia tak putus akan keajaiban Tuhan. Yang diinginkannya hanya satu, gadis itu membuka manik hazel indahnya dan lengkungan bulan sabit itu menyambutnya dengan manis. Lengkungan yang membuat siapapun turut melengkungkan lengkungannya.
Ia menggenggam tangan yang tertancap selang infus, menatap lurus pada wajah dengan mata terpejam. Wajah itu tetap bersinar meski mata itu terpejam. Ia menghela nafas, "Riga, ayo bangun. Kamu nggak kangen aku?" hanya deru ekg yang menjawabnya.

Tepukan halus menyalanya, "Xav, makan dulu ya," ia menggeleng, "Xavier, kamu harus makan. Kalo nggak makan kamu juga akan jatuh sakit," Xavier menyerah, ia menuruti perintah wanita paruh baya yang membawakan makanan untuknya. Wanita paruh baya itu adalah tante dari Auriga.

Xavier membuka rantang dan ia tersenyum getir, ternyata sang tante membawakan menj favorit Auriga dan dirinya ketika mereka tengah menikmati makanan di warung pinggir jalan. Xavier menangis dalam diam. Ia merasa bersalah memakan makanan itu sendirian. Sejujurnya, sang tante juga tidak tega melihat keponakan serta Xavier. Beliau hanya ingin Xavier mengikhlaskan. Nyatanya ikhlas itu begitu rumit.

Usapan lembut menyapa bahu Xavier kembali, "Xavier, tante minta maaf. Bukan maksud tante buat kamu inget. Tapi, tante nggak tahu harus masak apa dan kebetulan stok kwetiau tanre masih. Tante inget kamu sama Riga suka sama kwetiau, jadi tante masak itu. Tante juga tahu perasaan kamu," ucapnya sembari menahan kristal bening yang hendak menetes. Xavier yang melihatnya segera memeluk tante dari Auriga. Sang tante menangis sejadi-jadinya. Dalam tangisnya beliau berujar, "tante tahu Riga udah capek. Tapi, tapi tante masih pengen liat Riga senyum make baju pengantin, senyum liat dia bahagia sama keluarga barunya, tapi itu semua tidak terjadi."
































***































"Riga, kamu beneran nggak mau bangun?" pertanyaan itu lolos dari belah bibir pemuda yang kini menggenggam tangan itu, "Ri, semalem aku liat langit malam dan bener, langit malam iti canti saat berhiaskan berlian-berlian kecil. Berlian itu udah kayak lazuardi yang ada di kanagara-kanagara Raja Ratu," hanya deru elektro kardiograf yang menjawabnya. Tetesan kristal bening kembali meluncur bebas dan tak tentu arah.

"Ri, udah satu tahun lebih kamu nggak buka mata. Dunia jahat banget ya? Ri," ia menahan perkataannya, "kalo kamu bangun, aku mau Ri, buat jadi rumah kamu, rumah yang akan selalu membawamu pulang. Rumah yang akan menjadi tempat dimana kamu bisa mengungkapkan semuanya. Kalaupun kamu pergi dan udah jadi bintang diatas sana, tolong tegur aku. Aku tahu, aku cuman manusia biasa, Ri. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Nggak ada yang kayak kamu, Ri," ucapan itu begitu pilu dan tanpa sadar ada dua pasang telinga yang mendengarkan semuanya. Kedua pasang telinga itu turut mencelos. Entah mengapa Auriga seolah enggan untuk kembali. Auriga memilih untuk memendam semua mimpinya.

Lädieren [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang