Selepas sholat isya, keluarga Abah berkumpul di ruang keluarga.
Abah dan Agan sedang mengobrol seputar agen. Membicarakan apa aja soal tetek-bengek agen yang selalu ada cerita di setiap harinya. Yang sedari tadi mondar-mandir dari dapur ke meja makan adalah Tiara, yang tengah menyiapkan makan malam.
Malam ini keluarga Abah lengkap berkumpul di beranda rumah. Suasananya hidup meski sibuk sendiri-sendiri. Termasuk Awi yang kini sedang duduk bersila dan memerhatikan Kia yang sedang memainkan mainan dokter-dokterannya. Dia rela jadi pasien anak itu dalam semalam.
"Abang, Abang agi atit, ya?" tanya Kia dengan suara cemprengnya.
Awi menaikkan dua alisnya. Tak paham dengan bahasa anak kecil. Abah dan Agan yang terdistraksi dengan suara Kia pun menoleh.
"Abang nggak ngerti," Awi menggaruk kepalanya dengan canggung. Berkomunikasi dengan anak kecil adalah hal yang paling tidak ia sukai selama Awi hidup.
"Katanya, Abang lagi sakit ya?" celetuk Tiara yang saat itu sedang melewati ruang keluarga. Menjadi interpreter dadakan bahasanya Kia.
"Ohhh," Awi membulatkan mulutnya. Lalu mengangguk, "iya, Abang lagi sakit."
"Tia, Tia cembuhin Abang, ya?"
Awi menoleh pada Abah dan Agan. Meminta untuk diterjemahkan. Abah yang paham akan tatapan Awi hanya mengangkat bahunya, tanda tidak paham juga.
"Au Wi, gua juga kadang-kadang kagak paham si Kia ngomong apaan." tutur Abah.
Agan mendecak, "gimana sih aki-aki! Anak udah tiga masa kagak ngarti bahasa bocah."
"Ya, dulu 'kan yang ngurus lu berdua almarhum emak lu." Abah mengusap kepala dengan ekspresi getirnya.
"Makanya jangan dunia luar mulu yang diprioritasin!" gertak Agan. Dia pun menoleh ke arah Awi yang hanya cengo saat dirinya mengoceh tadi.
Awi membuang muka saat Agan menatapnya dengan ekspresi jengkel.
"Ya udah sih, maap." Abah menyengir, menunjukkan deretan gigi-giginya yang mulai jarang, alias ompong.
"Abang! Abang Tia pelikca yaaa," Kia mengarahkan stetoskop ke wajahnya Awi. Sementara yang sedang menjadi pasien hanya menghela napas pasrah.
Awi meraih tangan Kia yang memegang stetoskop mainan, lalu mengarahkan tangan mungil itu ke dadanya Awi, "kalo mau periksa orang, harus cek di sini. Bukan di muka."
"Ote!" balas anak itu lucu yang tanpa sadar membangkitkan senyumannya Awi.
Agan menyeringai saat melihat itu. Rasanya hangat ketika keluarganya berkumpul seperti ini. Ia menghela napas puas. Bayangan keluarga hangat yang selalu berputar di otaknya akhirnya bisa terealisasi. Meski harus menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama.
"Kia, Kia...Kia kalo udah gede, mau jadi apa?" tanya Agan pada Kia.
"Tia, Tia mau jadi doktel."
Agan tersenyum puas dan melirik Abahnya. "Tuh, dengerin, Bah. Jadi dokter!" serunya bermaksud sarkas.
Abah menanggapinya dengan tawa. Tahu maksud Agan berseru tadi, beliau berkata, "mending urus agen gua—"
"Eits, eits, eits...Abah, inget janji kita." Agan mengedikkan dagunya dengan mata menatap tajam ke Abah. "Agen, kos-kosan, tanah, atau apalah itu bisnis Abah, biar Agan sama Bang Awi yang pegang. Kia fokus jadi apa aja yang dia mau, Abah gak boleh larang!"
Abah terbahak-bahak, "iya elah! Gua cuma bercanda. Kia mau jadi dokter kek, pengacara kek, artis kek, silakan!" seru Abah kemudian, "tapi semoga aja maunya ngurus agen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Agen Agan
FanfictionDia bukan seorang raja ataupun seorang pangeran. Dia hanyalah seorang Agan. Pemuda penjaga sebuah agen yang pernah bermimpi menunggangi seekor kuda putih dan bertemu seorang gadis cantik yang disinyalir seorang putri. Namun ketika terbangun, yang...