01. BEGINNING

311 25 0
                                    

Lisa memandangi raket tenis yang tergeletak di meja kecil di sudut ruang tamu mereka. Rumah itu sederhana, terletak di wilayah kumuh di Seoul, dan hanya terdiri dari beberapa ruangan kecil. 

Meskipun kondisi hidup mereka tidak ideal, semangat Lisa untuk meraih impian menjadi pemain tenis profesional dan bertanding melawan Novak Djokovic tetap kuat. Lisa Bersekolah di Yongsan International School of Seoul (YISS).

Di ruang tamu yang berfungsi sebagai tempat makan dan tempat tidur, pagi hari, suara telepon berbunyi. Lisa mengangkat telepon dari meja kecil di samping tempat tidur mereka.

"dad, bagaimana kabarmu hari ini?" Lisa bertanya dengan penuh perhatian.

"Lisa, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu di sekolah? Apakah semuanya berjalan lancar?" jawab ayahnya dari ujung telepon dengan nada penuh harapan.

"Semua baik, tetapi sekolah ini cukup menantang. Banyak yang harus diadaptasi, dan kadang aku merasa tekanan yang besar," Lisa menjelaskan, suaranya mencerminkan campuran rasa cemas dan tekad.

"Kamu sudah bekerja sangat keras untuk sampai ke sini. Ingat, aku selalu mendukungmu. Jangan biarkan kesulitan menghentikanmu," kata ayahnya, nada suaranya penuh semangat dan dukungan.

"Terima kasih, dad. Aku bertekad untuk melakukan yang terbaik. Aku ingin membuatmu bangga dan suatu hari nanti bisa bertanding melawan Novak Djokovic," jawab Lisa dengan keyakinan.

Lisa menutup telepon dan menatap sekeliling rumah kecil mereka. Setiap sudut rumah itu, dari tempat tidur yang sederhana hingga meja makan yang usang, mengingatkannya pada perjuangan dan pengorbanan yang mereka hadapi bersama. Dengan tekad yang kuat, ia bersumpah untuk mengatasi semua rintangan di depannya.

|||

Setelah hari yang panjang di sekolah, Lisa berlatih keras di lapangan tenis. Pelatih Kim berdiri di tepi lapangan, mengawasi latihan Lisa dengan cermat.

"Fokus pada teknikmu, Lisa. Jangan biarkan kesulitan di luar lapangan mempengaruhi performamu," kata Pelatih Kim, memberikan instruksi yang tegas.

"Aku akan berusaha lebih keras, coach. Aku ingin menunjukkan bahwa aku layak mendapatkan beasiswa ini," jawab Lisa, penuh tekad.

Pelatih Kim mengangguk dengan puas. "Aku percaya padamu. Kamu punya potensi besar, dan dengan kerja keras, kamu bisa mencapai impianmu."

Lisa mengusap keringat di dahinya setelah sesi latihan yang melelahkan di lapangan tenis Yongsan International School of Seoul (YISS).

Lapangan mulai sepi, namun Lisa masih berlatih, mengulangi gerakan servisnya dengan penuh tekad.

Tanpa disadarinya, ada seorang wanita dengan mata tajam seperti kucing yang mengamati setiap gerakannya dari atap sekolah.

Wanita itu berdiri dengan tenang, matanya mengikuti setiap gerakan Lisa dengan penuh minat.

Lisa, yang begitu fokus pada latihannya, tidak menyadari kehadiran pengamat misterius tersebut.

Ketika Lisa menghentikan latihan untuk sejenak, wanita itu menarik napas dalam-dalam, seolah menilai kemampuan dan potensi yang dimiliki Lisa.

Lisa kembali bersiap untuk servis berikutnya. Ia mengatur posisi, memegang raket dengan erat, dan memusatkan perhatian.

Bola melayang di udara dan Lisa memukulnya dengan kekuatan dan presisi yang luar biasa. Suara bola yang memantul di tanah terdengar nyaring di lapangan yang kosong.

Sementara itu, di atas atap, wanita bermata kucing itu tersenyum tipis. Ada sesuatu yang menarik dari cara Lisa bermain, sesuatu yang membuatnya terus memperhatikan dengan seksama. Ia tidak hanya melihat teknik dan kekuatan, tetapi juga semangat dan ketekunan yang terpancar dari setiap gerakan Lisa.

Saat matahari mulai terbenam, Lisa akhirnya mengakhiri sesi latihannya. Dengan napas terengah-engah, ia mengumpulkan bola-bola tenis dan memasukkannya ke dalam tas. Ia kemudian berjalan menuju ruang ganti, tidak menyadari bahwa setiap langkahnya diikuti oleh mata tajam dari atas sana.

Wanita itu, masih berdiri di tempatnya, menatap Lisa hingga gadis itu menghilang dari pandangan. Ia kemudian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan atap sekolah dengan sebuah rencana yang perlahan terbentuk di pikirannya.

|||

Lisa sedang membersihkan lapangan tenis yang baru saja dia gunakan. Dia mengumpulkan bola-bola tenis yang tersebar di sekitar lapangan dan menyusunnya rapi di keranjang.

Matahari mulai terbenam, memberikan nuansa jingga yang lembut di langit. Tiba-tiba, suara tawa mengejek terdengar dari belakangnya.

"Kau masih di sini, Lisa?" suara Kai terdengar, penuh dengan nada sinis. Dia mendekat bersama dua temannya, Taeyong dan Yuta.

Lisa menegang sejenak, tetapi dia tidak berhenti membersihkan lapangan. Dia sudah terbiasa dengan gangguan mereka, tetapi itu tidak membuatnya merasa lebih nyaman.

"Apa kau pikir kau bisa jadi pemain tenis profesional?" tanya Taeyong dengan nada mengejek. "Kau bahkan tidak bisa membersihkan lapangan dengan benar."

Yuta menambahkan dengan tawa kecil, "Mungkin kau harus membersihkan kamar mandi saja, Lisa."

Lisa tetap diam, mencoba untuk tidak mempedulikan mereka. Dia tahu bahwa mereka sering merundungnya karena mereka tahu tentang kondisi interseksnya.

Meskipun dia memiliki penampilan dan bentuk tubuh seperti wanita, mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengingatkan dia bahwa dia juga memiliki sesuatu yang sama dengan mereka.

Kai mendekat lebih dekat, menatap Lisa dengan tatapan meremehkan. "Kau seharusnya tahu tempatmu, Lisa. Kau bukan pria, bukan juga wanita. Kau tidak punya tempat di sini."

Lisa merasa sakit mendengar kata-kata itu, tetapi dia mencoba untuk tetap tenang. Dia tahu bahwa merespons hanya akan membuat mereka lebih senang.

"Biar aku saja yang mengatur ini," kata Kai, mencoba mengambil raket dari tangan Lisa.

Namun, sebelum dia bisa melakukannya, suara tajam terdengar dari belakang mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Semua kepala berbalik untuk melihat Jennie, seorang siswa dari keluarga kaya yang terkenal di sekolah, berdiri di tepi lapangan dengan tangan bersedekap dan tatapan tajam.

"Kami hanya bercanda," jawab Taeyong, tersenyum palsu.

"Bercanda?" Jennie mendekat, matanya tidak pernah meninggalkan mereka. "Keluar dari sini sebelum aku melaporkan kalian ke kepala sekolah."

Kai, Taeyong, dan Yuta saling berpandangan sebelum akhirnya mundur dengan enggan. "Ayo pergi," kata Kai, dan mereka bertiga meninggalkan lapangan.

Lisa menghela napas lega, lalu memandang Jennie dengan rasa terima kasih. "Terima kasih, Jennie."

Jennie tersenyum lembut. "Tidak perlu berterima kasih. Orang-orang seperti mereka tidak pantas mengganggumu. Kamu baik-baik saja?"

Lisa mengangguk. "Aku baik-baik saja. Hanya perlu sedikit waktu untuk bersih-bersih."

Jennie mengangguk. "Kalau begitu, aku akan menunggumu selesai. Mungkin kita bisa ngobrol sedikit setelahnya?"

Lisa tersenyum, merasakan kehangatan dari sikap Jennie. "Tentu, aku akan segera selesai."

Mereka berdua melanjutkan aktivitas mereka, dengan Jennie duduk di bangku dekat lapangan, menunggu Lisa.

Hari itu, Lisa merasa sedikit lebih kuat, mengetahui bahwa ada seseorang yang peduli padanya di tengah semua kesulitan yang dia hadapi.

THANK YOU JENNIE | JENLISA E-BOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang