Menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit lamanya, akhirnya Jinan sampai juga di gedung apartemen elit yang berada di kota Jakarta. Keluar dari mobilnya yang sudah ia parkir di basement, Jinan melangkah masuk ke dalam gedung tersebut.
Saat lift terbuka dimana sudah berada di lantai yang ia tuju, ia langsung pergi ke arah pintu apartemen Shani.
Menarik nafasnya dalam saat ia sudah berdiri di depan pintu tersebut, perlahan jarinya memencet bel yang ada di samping pintu.
Dua kali bel itu ia pencet barulah pintu itu dibuka oleh sang empunya.
Wajah Shani sangat datar tanpa ekspresi berlebihan. Harus diakui bahwa Shani memiliki wajah yang bisa berubah 180⁰ jika tak ada senyum di bibirnya.
"Ngapain lo?" Ketus Shani.
Jinan tersentak karna suara dingin Shani. "Boleh ngobrol di dalem aja ga Shan?" Ujar Jinan sedikit ngeri.
Shani pun mempersilahkan Jinan untuk masuk ke dalam apartemennya. Setelah menutup pintunya kembali, ia menyusul Jinan dan duduk di sofa depan tv.
"Lo belum jawab pertanyaan gue" Ucap Shani menatap lurus ke televisi yang menyala.
"Anak lo sakit" Balas Jinan to the point.
Shani mengangkat salah satu alisnya. "Anak gue? Maksud lo siapa?"
"Shan?"
"Dia udah ga butuh gue lagi nan. Dia udah dewasa kan katanya. Harusnya dia bisa mandiri dong dan bisa ngurus hidupnya sendiri. Gue jadi tau kenapa lo nyamperin gue kesini"
Jinan menghela nafas seraya menurunkan kedua bahunya. Lantas ia duduk di single sofa samping Shani.
"Christy manggilin lo terus Shan, dia nyariin lo dari tadi siang. Dia nungguin lo pulang sampe sekarang. Lo tega ngebiarin dia kayak gitu?"
"Lebih tega mana nan sama seorang anak yang berani ngebentak ibunya sendiri?" Shani menatap Jinan intens hingga matanya berkaca-kaca. "Sakit nan, semua perkataan dia masih jelas di kepala gue. Berkali-kali gue coba lupain tapi..." Shani mengangkat bahunya acuh.
"Suara dia yang ngomong dengan nada tinggi aja masih gue inget jelas. Selama ini dia selalu ngomong dengan nada manis ke gue, lemah lembut, dan kasih sayang yang terpancar. Dan hari ini, semuanya sirna gitu aja. Gue cuma pengen jadi bunda yang baik, ngejagain dia sepenuh hati, dan memperlakukan dia dengan versi terbaik gue. Tapi nyatanya, dia terbebani sama itu semua" Lanjut Shani dengan ekspresi sedihnya dan sudah meneteskan air mata.
Jinan masih diam membiarkan Shani melanjutkan bicaranya lagi.
"Hal yang paling gue takutin selama ini akhirnya kejadian. Dia udah mulai dewasa, tapi gue tetep masih nganggepnya anak kecil. Gue bisa belajar buat nerima itu tapi cara bicara dia yang kayak tadi bakal terus membekas di hati gue"
Jinan berpindah duduk disamping Shani lalu memeluk mengusap bahu Shani. "Gue ngerti Shan. Mungkin dia emang belum paham sama perlakuan lo itu makanya tadi dia lepas gitu aja. Dia itu anak remaja yang lagi di fase susah ngontrol emosinya sendiri. Gue yakin dia ga bermaksud ngelawan atau ngebentak lo kayak tadi Shan. Dia nyesel sama tindakannya sendiri, dia mau minta maaf sama lo"
Jeda.
"Pulang ya Shan?"
Shani menggeleng di posisinya yang belum berubah.
"Dede mau bundanya"
"Dia ga butuh gue Jinannn hiks.."
"Butuh Shani, dia butuh. Mami mohon sama lo buat pulang malam ini. Dia ga tega liat dede yang nangis mulu karna nyariin lo, nungguin lo"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIA, BUNDAKU S2 [END]
FanfictionSentuhan cinta, kasih sayang, dan kehangatan yang hanya untuknya. Dimohon untuk membaca season pertama dulu ya luv agar tidak bingung saat membaca season dua ini