"Halo Gibran, aku butuh bantuan kamu," ucap Kanaya sambil menahan rasa sakit di perutnya.
"Ada apa Ay?"
"Pe-perut aku sakit banget aww."
"Bagaimana bisa, Ay? Kamu jatuh?"
"Ceritanya nanti aja, pe-perut aku sakit banget Bran, akhh."
"Oke-oke, aku otw ke sana ya, kira-kira kamu masih tahan nggak?"
"Y-ya, aku masih bisa tahan, cepat datang ya Bran."
"Ya Ay, aku tutup ya."
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt ....
Dengan perlahan, Kanaya mulai bangkit dan pergi menunggu Gibran di luar rumah, langkahnya begitu terseok-seok dengan tangan yang senantiasa menggenggam perutnya.
Namun tanpa sepengetahuan Kanaya, terdapat Haura yang mendengar seluruh percakapan Kanaya bersama Gibran melalui panggilan tadi, ia sedikit bingung kala Kanaya merasakan sakit dibagian perutnya.
"Anak itu kenapa? Perutnya sakit karena apa coba?" gumam Haura dari balik tembok pembatas.
Sedetik kemudian ia menggeleng. "Ngapain aku pake penasaran segala sih? Dia kan bukan anak aku, biarin aja lah!"
****
Usai dari rumah sakit, Gibran membawa Kanaya untuk keliling ibu kota sembari mencari makanan yang enak disantap siang-siang seperti saat ini.
"Ay, kamu kenapa bisa gini, hmm?" tanya Gibran seraya menatap Kanaya.
Saat ini, mereka berada di dalam mobil yang dikendarai oleh Mang Dadang, mereka akan mencari makan dulu lalu memutuskan untuk pulang setelahnya.
"A-ayah dorong aku karena aku nggak bagi dia uang," jawab Kanaya sembari mengelus-elus perut buncitnya itu.
"Dia minta uang emang buat apa Ay?"
"Buat main judi, ayah suka sekali main judi sampai rela uangnya habis," kata Kanaya dengan suara lirih.
Tanpa aba-aba, Gibran langsung memeluk tubuh Kanaya, ia mengelus-elus pundak rapuh gadis itu, sementara Kanaya sudah tidak bisa lagi membendung air matanya, tangisannya pun pecah seketika.
"Aku takut baby bear akan kenapa-kenapa Bran, aku nggak mau itu terjadi," katanya seraya menangis tersedu-sedu.
Gibran terpejam sejenak, ia lalu mengangguk pelan. "Ya aku tau, aku akan ngelindungin baby bear juga kok."
Kemudian pelukan itu pun terlepas, Gibran langsung menghapus jejak air mata Kanaya lalu mengelus pipi Kanaya lembut.
"Ay, gimana kamu tinggal di rumah aku aja?" tawar Gibran dengan suara lembut.
Kanaya menaikkan pandangannya. "Tinggal sama kamu?"
"Ya Ay, daripada nanti baby bear kenapa-kenapa," ujarnya sambil melirik sekilas ke arah perut Kanaya.
Kanaya seketika menggeleng. "Aku nggak bisa, Bran, nanti gimana nasib ayah aku? Siapa yang akan membuatkannya sarapan dan memberinya uang untuk bermain judi?"
"Kenapa kamu masih aja berfikir seperti itu, Ay? Mereka itu nggak pantes dapat kebaikan kamu, apa pernah mereka mengakui kebaikan kamu? Nggak kan, mereka cuma bisa menginjak-injak kamu dan itu membuat aku tidak terima, Ay!!"
Kanaya sadar, apa yang dikatakan Gibran memang sepenuhnya benar, tapi tidak cukup untuk dipungkiri bahwa ia masih memiliki hati nurani. Dia tidak mau meninggalkan ayahnya yang satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki, dia tidak mau kehilangan pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya dan Kehidupannya
Teen Fiction[ FOLLOW DULU SEBELUM BACA ] Sederhana, ini hanya kisah seorang gadis remaja yang harus melewati masa-masa sulitnya dengan sendirian, ditemani dengan kesepian dan kesunyian. Hingga suatu hari datanglah sosok laki-laki yang merupakan anak pindahan da...