Jujur, aku masih mengalami syok setelah mendengar idola yang disebutkan oleh Dika pada jam pelajaranku tadi. Masih dapat kuingat dengan jelas bagaimana anak itu dengan tanpa ragu mengatakannya dan bagaimana santainya ia menjawab pertanyaanku soal alasan dibalik Elizabeth Bathory--yang orang waras pun sepertinya tak mau menjadikan perempuan gila itu sebagai seorang idola.
Saat ini, aku masih terduduk di atas kursi kantor guru, memikirkan jawaban dari Dika yang kedengarannya sangat ngeri mau dilihat dari sudut pandang mana pun. Mungkin setelah ini, aku benar-benar tak tahu harus berpikiran positif bagaimana pada Dika. Rasanya, pikiranku selalu menyuruhku untuk menganggap kasus kematian tak masuk akal yang dialami oleh Jaya adalah tanggung jawab Dika.
"Pak Regan sakit?" kalimat tanya yang tiba-tiba terdengar oleh telingaku membuat mataku terbuka, aku seolah tengah ditarik paksa untuk kembali menghadapi realita. "Ada yang nyariin di depan, Pak." lanjut salah satu guru wanita yang tak terlalu aku kenali.
Dicari? Oleh siapa? Saat otakku sedang menerka beberapa kemungkinan, aku kembali dikejutkan dengan kemunculan salah satu siswa tepat di depan mataku. Kami berpas-pasan di sebuah belokan antara tangga dan kantor guru. Meski tampak masih menetralkan detak jantung, siswa tersebut tetap langsung meminta maaf padaku.
Dalam hati, aku lega karena anak zaman sekarang ternyata masih memiliki secuil rasa kesopanan terhadap guru.
"Kamu yang cari saya?" tanyaku tanpa berbasa-basi.
Siswa itu mengangguk. "Iya, Pak. Jam pelajaran Bapak sudah dimulai dari tiga puluh menit yang lalu."
Ah, benar juga. Ada jadwal mengajar di kelas 11-1. Mungkin karena terlalu sibuk memikirkan kasus tadi, aku jadi melupakannya. Namun, ketika kami tengah berjalan menyusuri koridor, secara tidak sengaja aku melihat Dika Presma.
"Elizabeth Bathory itu sangat keren, Pak. Dia berani mencoba hal baru dan mengekspresikan apa yang dia pikirkan menjadi suatu tindakan. Menurut saya, dia keren karena nggak semua orang mampu jujur dengan apa yang mereka mau dan yang mereka pikirkan."
Sungguh pemikiran yang menyeramkan. Padahal, aku melihat Dika saat anak itu sedang berlalu lalang seperti manusia pada umumnya, tapi karena peristiwa itu, citra Dika di mataku menjadi buruk.
Benar juga, tentang dua siswa lain yang terekam CCTV bersama Jaya, aku belum menemukan hal yang mencurigakan dari mereka. Tadinya kupikir begitu. Namun, di sinilah aku berada. Dengan kepala yang kumunculkan dari balik tembok, dapat kulihat dengan jelas pergerakan seseorang yang sedang berdiri di depan tempat pembuangan akhir sampah sekolah.
Verly Sunanda, anak itu terlihat tengah menengok ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Seolah takut seseorang akan memergoki dan mengacaukan aksinya. Setelah Verly pikir tak ada yang melihatnya, ia mengeluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya.
Awalnya aku tak tertarik. Toh, itu hanya sebuah sapu tangan, kan? Tapi setelah melihat sapu tangan itu terdapat bercak merah, aku jadi tampak sangat serius mengamati Verly yang masih sibuk mengoreki sampah dengan sebuah balok kayu yang sepertinya merupakan kursi kelas yang patah.
Menit demi menit berlalu, aku masih betah memperhatikan gerak-gerik Verly. Saat anak itu menggali tumpukan sampah, menutup mulut dan hidungnya dengan tangan, bahkan hingga akhirnya sapu tangan yang sedari tadi digenggamnya kini dilemparkan ke dalam tumpukan sampah yang kemudian dibenarkan lagi seperti semula. Aku melihat segalanya dengan cermat.
Lalu, aku sadar akan satu hal. Verly berusaha untuk mengubur dan membuat sapu tangan tadi ikut dibakar bersama sampah sekolah besok.
Namun, kenapa?
Keesokan harinya, aku berangkat mengajar seperti biasanya. Tak ada yang menarik, sejak pagi hingga matahari tepat di tengah pun aku hanya melakukan kegiatan yang semestinya dilakukan oleh seorang guru.
Namun, sepertinya Verly berbeda denganku. Hari ini anak itu sangat berbeda dari kali terakhir aku masuk mengajar di kelas. Dalam waktu dua jam pelajaran, Verly benar-benar menghabiskan semua waktunya untuk melamun.
Sekarang saja, yang dilakukan anak itu mampu membuatku hampir meluapkan kekesalanku di depan seluruh anggota kelas. Bagaimana tidak? Yang sedari tadi Verly lakukan hanya diam dan melamun tanpa memperdulikanku yang sampai saat ini masih mengulas bab biografi dengan suara serak tak karuan.
Anak itu perlu diberi pelajaran agar jera, pikirku. Maka, setelah menyelesaikan kalimatku, aku berjalan perlahan menuju tempat duduk Verly. Tak peduli walau seluruh murid memperhatikannya, aku bertanya dengan tegas, "Mikirin apa? Punya hutang jutaan kamu, iya?"
Sepertinya, anak itu terkejut bukan main. Terbukti entah sudah berapa kali Verly mengelus dadanya. "Enggak, Pak. Bukan apa-apa," jawabnya.
"Berdiri di depan sampai pelajaran selesai."
Adakalanya seorang guru harus bersikap tegas dengan siswa seperti Verly. Meski sebenarnya enggan berbuat sampai sebegitunya, tapi aku sadar bahwa ini semata-mata bukan untuk kebaikanku saja, melainkan untuk kebaikan Verly juga agar kelak anak itu tak berlaku semena-mena dengan siapa pun di sekitarnya.
Mungkin, kejadian kemarin sore yang membuat Verly menjadi lebih diam. Mungkin, jika Verly adalah pelakunya, anak itu tengah berada di masa-masa di mana rasa bersalah menguasai dirinya. Tentu saja Verly harus merasa bersalah, sebab ternyata, sapu tangan yang sengaja dibuangnya bukanlah sapu tangan biasa.
Setelah memungut sapu tangan itu dari tumpukkan sampah dan memeriksanya, aku jadi semakin yakin bahwa kain berwarna biru langit itu memang milik Jaya. Hal itu langsung terlihat dari sebuah sulaman dengan nama Jaya di pojok kanannya. Namun, aku tak pernah melihat sapu tangan itu di TKP. Lalu... bagaimana Verly mendapatkannya? Kenapa repot-repot berusaha memusnahkan sapu tangan itu?
Melihat bagaimana Verly masih saja terus melamun meski ditempatkan di hadapan teman-temannya membuatku mau tak mau harus mengisi notebook yang kuharap tak pernah ada isinya itu. Di halaman ke dua, saat kelas hampir selesai, aku mulai membiarkan bolpoin bertinta hitam milikku menari-nari di atas kertas tebal itu.
Bukti Verly Sunanda:
1. Terlihat di CCTV.
2. Berusaha membakar sapu tangan Jaya.
"Pak Regan?"
Aku mengusap wajah dengan tangan dinginku, "Ah, iya? Maaf, tadi saya..."
"-sepertinya itu digunakan sebagai usaha untuk menghentikan pendarahan pada korban. Di mana Anda menemukan bukti sepenting ini?"
Itu artinya, tersisa satu tersangka yang belum menunjukkan tanda-tanda keterlibatannya dalam pembunuhan ini. Rasya Meethara, aku harap anak itu hanya kebetulan tertangkap CCTV perpustakaan.
jangan lupa tekan bintang, ya!instagram: @/karrieekar
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Happy [NCT 127]
Mistério / Suspense❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ tinggalkan jejak (vote, comment) sebagai pembaca aktif. Regan Dyani Wicaksono adalah seorang guru P3K di sebuah sekolah menengah atas negeri ter-favorit di daerahnya. Prinsip hidupnya sederhana, ia tak akan membuang energiny...