Seperti biasa, udara kota Bandung selalu dingin setiap paginya.
Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, burung-burung sudah mulai keluar dari sangkarnya dan berkicau kesana kemari. Entah kenapa, pagi ini rasanya lebih dingin dari biasanya.
“Apa karena habis hujan kemaren ya?” gumam Kayana
Ia mengikat erat tali sepatunya, memasang headphone dan menyetel lagu yang selalu ia putar setiap kali ia akan memulai kegiatan.
“Song of the day, Cruel summer nya Taylor Swift”
Setelahnya, ia kembali ke dalam untuk berpamitan sejenak kepada Bunda, menutup pintu dan siap untuk memulai jogging nya.
Kakinya melangkah bergantian, membawanya berkeliling sembari menikmati udara pagi. Napasnya mulai tersenggal-senggal, efek karena sudah tidak lama berolahraga.
Setelah kurang lebih 30 menit lamanya, Kayana menghentikan langkahnya dan menepi untuk rehat sejenak, ia mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum berjalan kembali pulang.
Brak!
“Aduh! Yah, handphone nya jatuh, duh gimana nih”
Tanpa sengaja, Kayana ditabrak oleh seorang pria yang tampaknya juga habis jogging sama seperti dirinya. Pria itu tampak terkejut, walau sedetik kemudian raut wajahnya kembali datar.
“Ma-”
“Hati-hati dong, Pak! Casing hp saya jadi kotor kan jadinya, padahal baru beli loh. Untung aja hp nya ga ikut retak, kalau iya gimana? Saya bukannya bermaksud apa-apa,”
“Bapak? Emang wajah gue keliatan tua banget ya?” batin pria tersebut, ia mendekat ke arah Kayana, mengambil benda pipih itu dari genggamannya.
“Heboh banget kayak ibu-ibu. Liat nih, cuma kotor sedikit doang kok, ga ada cacat juga”
Ibu-ibu katanya? Sudah salah menabrak orang dan sekarang dia malah ngatain?
Orang aneh, pikir Kayana.
“Maksud Bapak apa? Yaudah gini deh, ga usah ganti rugi juga ga apa-apa, 15 ribu doang kok saya ikhlas. Tapi tolong jangan ngatain juga dong, pak!”
“Kapan saya ngatain? Orang situ yang mulai duluan. Dasar aneh”
“Loh, orang saya diem aja tiba-tiba ditabrak. Salah siapa sekarang?”
Keduanya sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Kayana menggeleng kecil, padahal kan yang jadi korban disini dia kenapa malah dia yang jadi disalahkan.
Pria itu menghela napasnya, sepertinya Kayana tidak ada niatan untuk berdamai duluan, jadi ia mengakhiri perdebatan yang tidak penting itu dengan meminta maaf. Setelahnya ia beranjak pergi tanpa peduli Kayana yang masih misuh-misuh di belakangnya.
Kembali lagi ke Kayana dengan dirinya yang masih sibuk membersihkan casing handphone barunya yang terjatuh tadi. Beberapa noda sepertinya susah untuk dihilangkan, membuat Kayana kesal sendiri jadinya.
Dengan mood yang buruk, Kayana berjalan pulang menuju rumahnya. Pikirannya penuh dengan perasaan bersalah sekarang, ia merasa sedikit keterlaluan terhadap bapak-bapak yang ia temui tadi.
“Aku tadi ngomongnya terlalu kenceng ya? Apa harusnya aku aja yang minta maaf?” ia merutuki dirinya sendiri yang berbicara terlalu kasar kepada orang asing tadi.
“Padahal ga bermaksud gitu... duh apa putar balik terus kejar aja ya, minta maaf udah kasar”
“Tapi kayaknya Bapaknya udah pergi jauh deh”
“Sekali aja, kalau kita ketemu sekali lagi aku bakalan minta maaf setulus-tulusnya, kalau perlu aku beliin martabak deh, serius”
Kayana dan pemikirannya yang terus berputar hingga ia tak sadar dirinya telah sampai di rumah.
***
Keesokan paginya, Kayana mendapati dirinya hampir saja terlambat untuk berangkat sekolah. Alarm yang sudah ia set sebanyak 10 buah itu ternyata tidak berfungsi karena nada deringnya yang tak ia bunyikan.
Satu sifat yang tak bisa hilang dari Kayana, ceroboh.
Bahkan Bunda sekarang menggeleng kepala melihat anak gadisnya itu pontang-panting kesana kemari, sibuk mencari pasangan kaus kakinya yang hilang entah kemana.
“Makanya kan Bunda nyuruh kamu siapin dari malem hari, kayak gini kan jadinya pusing kan,” ujar Bunda setengah mengomeli Kayana
“Kemaren tuh ada loh, Bun. Udah aku taro disini tapi kok malah hilang dianya”
“Carinya pelan-pelan, Nak. Kalau grasak-grusuk gitu ya ga bakal ketemu dia”
“Ga ada, Bundaaa. Aku cari pelan-pelan kok ini”
“Kalau sampai Bunda ketemu kaus kakinya gimana? Awas ya kamu”
Benar saja, dalam sekali penglihatan Bunda langsung menemukan kaus kaki milik Kayana yang ternyata terselip diantara rak buku.
“Ini apa? Makanya kalau apa-apa tuh tenang, ini engga malah heboh duluan. Udah sana cepet berangkat, kasian Ayah udah nungguin daritadi”
Kayana menyengir lebar, diambilnya kaus kaki dari tangan Bunda untuk ia kenakan. Setelah itu ia beranjak mengambil ranselnya dan berpamitan pada Bunda.
Hari ini, bisa dibilang kondisi sekolah cukup santai, mengingat sebentar lagi ada acara ulang tahun sekolah jadi kebanyakan para guru lebih sibuk mempersiapkan ini dan itu.
Kayana yang baru saja kembali dari toilet dan hendak menuju ke kantin, dirinya mendapati seseorang berdiri tak jauh darinya sedang menatap mading dengan wajah yang begitu serius.
“Kok kayak familiar ya? Kayak pernah liat tapi dimana?” gumam Kayana, dirinya menerawang kembali ingatan-ingatan yang telah berlalu.
“Kayana!”
“Eh, Anel! Tumben keluar kelas, biasanya susah banget diajakin” Kayana menghampiri Anel yang sedang berlari kecil kearahnya.
“Yah, gapapa lah sesekali. Lagian di kelas berisik banget, mau tidur juga ga bisa,” gerutu Anel, ia menjelaskan panjang lebar kepada Kayana betapa berisiknya kelasnya itu sembari melangkah menuju kantin sekolah
“Oh iya, nanti sore lo ada les ga? Gue sama Anne mau nonton final basket, mau ikut?”
“Hmm, hari ini kosong sih. Boleh deh, gue nebeng tapi”
“Yeee, kayak sama siapa aja lo!” Anel menyikut Kayana, tertawa setelahnya, “Aman aja sama kita, asalkan lo beliin minuman deh sebagai ganti bensin”
“Hahaha, air putih ya?”
“Itu sih, gue juga punya!”
Kayana terbahak. Dirinya sedikit berdebar, tak sabar untuk menonton final basket yang dimaksud Anel tadi.
“Pasti bakal seru kan, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
dear diary: we fell in love in march
Fiksi RemajaKota itu menjadi saksi bisu cerita kita. Menjadi latar dari berbagai ekspresi yang kita buat, bahagia, sedih, dan juga kecewa. Mungkin bagimu hal ini terdengar sederhana, tapi bagiku itu adalah suatu hal yang berharga. Pertama kalinya dalam hidupku...