🖐☝️

458 74 17
                                    

"Jen, tau kan?"

"Dia sejenis gua."

Mark mengangguk setuju, disusul Jeno yang berdehem menarik atensi Hamka.

"Lu indigo ya dulu?"

"Apa itu indigo?" Hamka menatap Jeno dan Jeno menatap Mark, dan Mark kebingungan. Karena Jeno menatap Mark, Hamka pun ikut menatap Mark.

"Emm, kayak saya, saya bisa liat kamu, ngobrol sama kamu, indigo, indra ke enam." Jelas Mark membuat Hamka membulatkan bibirnya lucu.

"Bisa, dikit. Amka cuma tau kalo ada setan di sudut ruangan rumah sama depan rumah dulu." Jawab Hamka masih  berjongkok di dekat kemejanya.

"Wah, dia dijaga bener-bener ya? Gak ketemu peranakan atau ajaran sesad." Ujar Jeno yang menatap Mark membuat Mark hanya mengangguk dan kembali merebahkan diri di ranjangnya karena hari sudah pagi. Ayolah, nanti pagi ia ada kelas.

"Saya mau tidur, jangan ganggu saya," Pamit Mark pada adiknya dan Hamka membuat Hamka hanya mengangguk.

Merasa kondusif, Mark pun mulai memejamkan kedua matanya dengan dalam hati yang merapalkan doa tidur.

.
.
.
.
.

"Hihihihi! Ah! Hihihi lucuu,"

"Lucu kan? Bisa gerak, lu suka?"

"Suka! Kok bisa gitu ya??"

"Ini tuh air, yang putih putih itu gliter."

"Gliter?"

"Heum, yang itu tuh.."

"Ohh, lucu ya! Kakak Amka dulu punya kayak gini."

"Oh iya? Apa dalemnya?"

"Pohon, sama ada ayunannya gitu, Amka suka kocok-kocokin kalo mau kayak badai,"

"Dulu kita harus kocokin, sekarang kita cuma tinggal deketin doang udah gerak, keren kan kita sekarang."

"Hihihihihi kita super hero!"

"Ahaha, tapi, Hamka, lu gak bisa selamanya megang benda atau kayak gini."

"Huh? Kenapa?"

"Ini kekuatan kita, semakin kuat kita, semakin banyak barang yang bisa kita pegang secara langsung."

"Amka.. Amka kuat gak?"

"Lu kuat, tapi gak sekuat gua, hehehe."

"Kenapa?"

"Ya.. ya maunya gitu, ble!"

"Ih! Nyebelin!!"

Mark membuka belah matanya, meraih ponselnya untuk melihat jam yang menunjukkan pukul 9 pagi. Pas, ia kelas pukul 10.

Kerusuhan yang dibuat adiknya itu menghasilkan Hamka yang berlari-lari mengejar Jeno. Sementara Jeno sudah berdiri di dinding melawan gravitasi. Tapi, Hamka tidak bisa seperti Jeno membuat Jeno hanya bisa terus meledeknya.

Mark memilih abai, memilih bermalas malasan di ranjangnya, memejamkan kedua matanya sembari sesekali menguap kecil.

Tuing.. tuing...

Lengannya di sentuh dengan telunjuk kecil itu, terasa dingin namun hangat dan ringan, yang membuat Mark mau tidak mau bergumam menanggapi. Siapa lagi jika bukan Hamka?

"Amka mau naik di dinding juga, kenapa Amka ga bisa??" Rengek Hamka sembari menunjuk Jeno yang hanya tertawa mengejek.

Mark memang tidak membuka kedua matanya, tapi ia tahu jika Hamka hampir menangis. "Kamu masih kecil, Hamka." Jawab Mark sekenanya.

Ketempelan (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang