SEPARUH HIDUP

9 1 0
                                    


Setiap kali ku tenung handphone-ku, kepalaku mendidih.

"Selamat siang, Ibu Zeila. Kami ingin memberitahukan bahwa ibunda bisa pulang hari ini, tetapi masih perlu menyelesaikan pembayaran obat dan rawat jalan." Suara seorang pria mengalir dari lubang speaker HP, berasal dari rumah sakit tempat ibuku dirawat.

"Baik, Dok! Nanti abang saya yang akan menjemput ibu." Jawabku pelan, namun pikiranku seperti terbang kemana-mana.

Sebelum bapak meninggalkan dunia, ia sempat bercerita bahwa ibuku mulai sakit ginjal ketika aku berusia lima tahunan. Bapakku mirip sekali Mr. Bean, rambutnya tiarap ke pinggir dan apabila berbicara tak pernah serius.

"Waktu itu kamu belum tahu apa-apa!" Cetus bapak sambil menelan asap rokok dan menghamburkannya seperti cerobong kereta api. Ia duduk diatas kursi Prenjalin, kakinya naik sebelah. Disampingnya setumpuk singkong goreng  diatas mangkuk  Cap Ayam Jago terkulai dingin. Laki-laki yang hanya memakai sarung tanpa baju itu menatap kosong jauh kedepan. Disampingya aku seperti ditunjuki jalan seratus kilometer.

"Nduk, apapun yang terjadi, dengerin ibumu ya."

Entah apa yang merasuki bapakku tiba-tiba bilang begitu. Aku yang masih kecil menganggapnya seperti ucapan berita di TV.

Kini setelah bapak meninggal, tinggalah aku dan abangku. Kami adalah satu-satunya yang tersisa bagi ibuku. Keluarga ayahku ada dua belas beradik sedangkan ibuku berjumlah delapan. Diantara mereka hanya beberapa saja yang muncul di rumah sakit untuk menjenguk. Seluruh saudara kami tinggal di kampung. Mereka adalah tipikal orang miskin yang memiliki banyak anak berderet-deret seperti pagar. Seperti halnya orang tak punya, mereka hanya mampu memberi doa.

Maka biarlah aku tanggung  seorang diri beban ini. Bagiku melihat infus yang di gonta-ganti seperti papan skor, ibuku yang mengkancingkan giginya karena menahan sakit, dan kertas tagihan dokter yang tak terkira banyaknya, rasanya aku ingin pecah.

Anakku berjumlah empat orang, abangku lebih banyak lagi, delapan. Ekonominya tak sekuat diriku yang bekerja sebagai bendahara di salahsatu perusahaan Properti antar Negara. Kehidupanku berputar-putar diantara Jakarta dan Don Mueang, Thailand. 

Sedangkan pekerjaan abangku hanya seorang petani yang mengolah hasil tanah warisan keluarga. Pekerjaan ini sangat rentang dengan cuaca, apabila hujan turun terlalu lama ia menganggur selama hujan itu ada.

Menjadi orang hebat, naik pesawat seperti memesan Taksi, karir yang melejit, dihormati banyak orang, itulah angka-angka kehidupan yang menari dikepalaku. Berat rasanya untuk seimbang antara karir dan orang tua. Kami selalu bertengkar tentang siapa yang harusnya lebih banyak menjaga ibu. Aku punya komitmen, punya anak yang harus diperjuangkan, punya karir yang harus diteruskan, disisi lain ibuku juga tak bisa diabaikan. Ditengah pertengkaran itu ibu memandangiku begitu dalam. 

Ia seperti tenggelam dalam kata-kata kami.

Terkadang ketika kesabaranku nyaris kering aku keluar sambil menangis. Begitu banyak uang yang ku habiskan untuk pengobatan ibu tapi  aku tetap merasa tak adil ketika masih mendapat jadwal menjaganya. 

Tak adil!

Pernah suatu ketika saat aku begitu marah dan sedih karena puluhan tahun membiayai ibuku, ingin rasanya aku menghilang, atau menyerahkan nasibnya ke Panti Jompo di kota Bekasi. Tapi buru-buru ku tendang bisikan setan itu. Aku masih manusia. 

Pada suatu hari ibuku jatuh sakit lagi dan tiba giliranku menjaganya. Aku berlari sekuat tenaga membawanya kedalam mobil Ambulan. Nafasku seperti habis terhimpit. Aku tersengal diantara para nurse.

Di malam itu aku dan anak-anakku menginap dirumah sakit. Saat itu aku tak sengaja memasuki ruangan tempatnya di rawat dan kulihat ia sedang shalat tahajud sambil berbaring. Mulutnya komat-kamit tapi matanya terpejam. Selesai salam ia menoleh ke arahku dan ibuku berkata:

"Kalau ibu meninggal, hanya kamu dan Bik Mina yang boleh memandikan jenazah ibu".

Ah ibu..!

Sejuta kali ia bilang begini. Dari dulu, setiap kali sakit!

Kini aku berada di depan pintu pesawat menuju Kuala Lumpur untuk menghadiri salahsatu Expo Internasional. Setelah lima tahun bekerja akhirnya aku diangkat menjadi Manager. Tugas Manager sendiri mengendalikan beberapa projek dan keputusan penting tentang arah bisnis. Meski kerjaanku terbilang sedikit tapi tanggungjawabku amatlah besar, dari goresan tandatanganku itulah mengalir uang Miliyaran rupiah seperti air hujan. 

Hampir ku serahkan Boarding Pass Busines Class itu pada pramugari tiba-tiba HP ku bergegar seolah minta cepat-cepat diangkat. Dan samar-samar abangku bilang,

"Ibu meninggal, pulang sekarang!"

Seperti di sengat listrik tiba-tiba aku menangis, dadaku sesak, perasaanku seperti di aduk-aduk. Aku harus pulang.

Kendaraan privat yang membawaku seperti dibawa angin kencang dan tanpa sadar aku sudah dihadapan tubuh yang terlentang: jenazah ibuku. Bik Mina datang memelukku begitu erat seperti tak bertemu puluhan tahun, air matanya bertebaran. Bik Mina sendiri adalah adik kandung ibuku. Saat itu juga aku teringat wasiat terakhirnya, hanya aku dan dia yang boleh memandikan tubuhnya untuk kali terakhir.

Ku buka kain Jarik yang menutupinya kemudian ku gunting seluruh baju yang melekat pada badan ibuku. Dengan hat-hati Bik Minah mengangkat air bersih dan juga menyiapkan kapur barus. Di luar sana warga berkumpul berdesak-desakan; abangku sedang menggunting-gunting kain kafan. 5 lapisan.

Mula-mula aku bersihkan seluruh tubuhnya kemudian aku sentuh wajahnya menggunakan punggung jariku, kulitnya nampak segar seperti bunga sebab tiba-tiba ia seperti sedang tidur siang. Bik Mina mendudukkan tubuhnya kedalam pelukanku hingga dapat ku lihat jahitan bekas operasi ginjalnya di sebelah kanan yang begitu panjang, kira-kira sepuluh senti. Namun tiba-tiba perasaanku mendadak aneh saat aku tahu bahwa selama ini ibuku bertarung melawan ginjal sebelah kiri sepanjang hidupnya.

"Mengapa bisa demikian?"

Di sampingku Bi Mina terus sesenggukan dan air matanya berderai seperti genangan diatas kaca. Ia menyiram bekas jahitan tadi sambil sesekali melihat ke arahku. Namun tatapannya kali ini sedalam sumur dan baginya aku seperti gerimis yang dinantikan seribu tahun. Tak pernah ia seperti itu.

"Tahukah kamu..." Tiba-tiba saja ia membuka prolog yang membuat hatiku dingin. Aku tak sabar akan kelanjutanya.

"Saat usiamu lima tahun, kamu di diagnosis gagal ginjal oleh dokter karena jarang minum air putih. Saat itu, harapan hidupmu hanya diperkirakan antara tiga hingga empat tahun. Satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendapatkan donor ginjal, dan ibumu lah yang bersedia untuk mendonorkan ginjalnya."

Tubuhku mulai gemeteran. Tanganku kaku.

"Sejak saat itu, ibumu mengalami sakit setelah ginjalnya dipindahkan ke dalam tubuhmu, semua itu dilakukannya demi melihatmu hidup normal dan menjalani kehidupan yang baik."

"Separuh hidupmu adalah ibumu....."

Tiba-tiba aku tersentak dan bumi yang ku pijak bagaikan terguncang hebat. Ingin rasanya aku berteriak sekuat tenaga. Perasaanku hancur total. 

Di sampingku Bik Mina mengguatkan hatiku sambil menepuk-nepuk ujung pundaku. Air mataku banjir seketika. 

Dalam dekapan masih ku peluk erat tubuh ibuku yang terasa dingin, berharap ia hidup kembali walau hanya 5 detik supaya aku bisa mengucapkan kata maaf.

Tiba-tiba saja duniaku menjadi gelap.


TAMAT


------------------------




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antologi Cerpen KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang