Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an mengalun cukup baik dari mulut anak lelaki berusia 10 tahun itu. Ia membacanya dengan sangat serius. Seolah satu huruf pun tak ingin terucap sampai salah. Lembaran Al-Qur'an itu pun sudah terlihat kusam, sepertinya ia memang rajin membacanya. Aku harap begitu, tapi mungkin juga karena Al-qur'an itu sudah lama.
Aku tersenyum kagum padanya. Cukup mendengarkan dan tak terlalu mengoreksi jika ada yang kurang tepat."Sudah, sampai sini?" ucapku menunjuk ayat 132 surah ali 'Imran di halaman 66.
"Shodaqallahul'adzim..." ucapnya menyelesaikan bacaan. Lalu ia pun melipat sedikit ujung lembarnya sebagai tanda, kemudian menutupnya dan kembali duduk di kursi miliknya.
"Ayo? selanjutnya siapa yang ke depan," ucapku pada mereka.
"Ayo, Hadi! Kamu maju!" Teriak Safira memperjelas. Ia sahabatku yang menemaniku mengajar.
Namaku Zoya Saiara, usiaku 16 tahun. Memang terbilang sangat muda bagi seorang pengajar, apalagi mengajar mengaji. Aku bukan guru, aku hanya seorang pengganti. Aku juga seorang murid. Jika Ustadz Azam sibuk untuk mengajar, beliau memercayaiku dan memintaku untuk mengajari anak-anak lelaki itu. Anak-anak? Bukankah diriku juga termasuk anak-anak, anak baru gede maksudnya. Aku senang merasa dipercaya dan juga sebagai bukti patuh pada sang guru. Sekaligus aku ikut belajar dalam mengajar. Selain mengajar Al-Qur'an juga belajar fiqih, tauhid dan akhlaq. Tentunya dengan Safira yang selalu menemaniku. Ia membantuku mengurus anak-anak yang susah di atur.
"Sustt... Zoya, ada Hikam lewat," bisik Safira di telingaku. Aku yang fokus mendengarkan Hadi membaca Qur'an terganggu dan menoleh pada Safira.
"Tuh....?" ucapnya. Dengan gerakan refleks aku mengikuti arah tunjuk Safira. Sialnya, saat mataku menoleh tanpa sengaja ia pun juga ikut melirik ke arahku. Dengan cepat aku mengalihkan tatapan begitupun dia, ia langsung melewati dan hilang di balik pintu ruangan lain. Jantungku berdebar dua kali lipat. Ada apa denganku?
"Ehem... cie... Zoya?" Goda Safira, ia tersenyum jahil. Dasar, kenapa aku jadi malu dan salah tingkah.
Dia, Malikal Hikam, remaja seusiaku. Dia teman satu sekolah dasarku dulu. Setelah lulus, ia memilih melanjutkan ke sebuah pondok pesantren di kota Tasikmalaya. Aku tidak tahu kabarnya lagi sejak saat itu. Hingga tadi kami bertemu kembali setelah sekian tahun. Mungkin ia sedang liburan jadi pulang kampung dan berada disini, di tempatku mengaji.
*
Sejak kejadian malam itu, Safira selalu meledekku. Padahal jika aku dan Hikam berpapasan, kami hanya saling lirik atau menunduk tidak lebih, bahkan tidak bertegur sapa.
Malam ini sepulang mengaji pukul sembilan, ponsel genggamku berbunyi, tanda sebuah pesan masuk. Aku yang ingin memulai ritual tidur pun tak jadi. Karena memilih untuk mengambil ponsel dan melihat siapa yang mengirimiku pesan.
"Nomer baru? Siapa?" gumamku sendiri. Isi pesan itu hanya berupa salam. Karena penasaran aku membalas pesan tersebut. Tak butuh waktu lama, pesan kembali muncul. Padahal aku tipe orang yang cuek, dan mengabaikan nomer baru yang masuk ke ponselku. Tapi tidak dengan yang satu ini, entahlah aku juga tidak tahu kenapa?
Aku baca pesan itu, betapa kagetnya diriku. Setelah mengetahui siapa gerangan yang mengirimi pesan tersebut."H-hikam?" ucapku masih tak percaya.
"Darimana ia tahu nomerku?" Aku bertanya sendiri. Daripada semakin penasaran, aku tanyakan kepadanya. Namun, ia tak memberitahuku siapa orang yang memberikan nomer ponselku padanya. Aku ingat-ingat kembali siapa saja orang yang memiliki nomerku di tempat mengaji. Tiga orang di bagian laki-laki, ya hanya sedikit yang memiliki nomerku. Mungkin salah satu dari mereka, tapi siapa?
Bermula dari pesan itu, aku dan Hikam sering bertukar kabar. Kami semakin dekat. Akan tetapi dekat hanya dalam komunikasi lewat benda pipih itu saja, tidak di dunia nyata. Karena faktanya kami seperti orang tak kenal, asing. Aneh bukan? Itulah diriku Zoya Saiara si perempuan pemalu jika berurusan dengan mahluk bernama laki-laki. Kecuali ketika mengajar tentunya. Atau mungkin Hikam juga begitu, malu.