Semesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang.
Dia Karen...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Karen pikir, kedatangan Pak Man hari ini adalah untuk membantunya menjelaskan, untuk melepaskan tudingan yang sudah terlanjur mengarah padanya. Awalnya Karen pikir memang seperti itu. Namun, ketika mendengar Pak Man dan Kepala sekolah berbicara, Karen baru paham, jika bunda yang meminta agar Pak Man menutup kasus ini begitu saja.
Bahkan ... Pak Man juga mengatakan, ingin memindahkan si korban ke sekolah yang lain. Hanya agar si korban tak lagi mengusik kehidupan Karen.
Perbincangan itu selesai, setelah Pak Man entah menyampaikan kalimat apalagi. Karena baru di kalimat yang pertama, Karen tak mampu mendengar lagi. Ketika percakapan mereka selesai, Karen adalah orang pertama yang berdiri untuk bersiap pergi.
Hanya saja, belum kakinya mulai melangkah, suara berat sang Kepala Sekolah membuatnya terpaksa berhenti. Karen berbalik badan, untuk menatap laki-laki paruh baya yang kini menatapnya sanksi.
"Iya? Ada apa, Pak?"
"Kasus ini memang sudah di tutup, dan hari ini juga, Analika akan di beri surat pengunduran diri dari sekolah. Tapi bukan berarti kamu bisa bebas begitu saja, Karen. Saya harap, hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi."
Lidah Karen kelu. Padahal ada banyak kata yang ingin ia sampaikan, namun tiba-tiba saja tubuh dan juga mulutnya terasa beku. "Saya ...," Bahkan ia tak mampu menyelesaikan kalimat itu.
"Sudah, kamu boleh pergi." ucap sang Kepala Sekolah.
"Karen, ayo pergi." Pak Man menatap anak majikannya dengan skeptis. Ada berbagai hal yang juga membuat Pak Man teras berat menjalankan tugas ini.
Akhirnya, lagi-lagi Karen merasa sangat pengecut. Ia melangkah keluar bersama Pak Man. Ruangan Kepala Sekolah masih belum terlalu jauh, saat Karen memilih untuk berhenti melangkah, yang membuat Pak Man ikut berhenti karenanya.
"Ada apa, Mas?" Kembali menjadi atasan dan bawahan, Pak Man bertanya dengan sopan. "Mas Karen butuh sesuatu lagi?"
Berdiri tak jauh dari Pak Man, Karen menjawab dengan ragu-ragu. "Pak, bukan saya yang melakukan ini. Bapak percaya, 'kan?"
Tanpa keraguan sama sekali, laki-laki yang saat ini sudah kepala lima itu menjawab. "Percaya, Mas. Saya percaya sekali dengan Mas Karen."
"Terus ... terus kenapa Pak Man—"
"Karena saya juga nggak mampu menolak, Mas."
Kini kedua mata Karen menatap Pak Man dengan pandangan sayu nya. Menghembuskan napas panjang, seharusnya Karen tak harus bertanya lagi alasan mengapa Pak Man harus menuruti kemauan bunda. Karena jawabannya sudah pasti, posisi Pak Man tak berbeda jauh dengannya. Mereka sama-sama tak memiliki kuasa apa-apa.
"Mas Karen tenang saja, nggak akan ada yang tau tentang masalah ini. Sekarang Mas Karen hanya perlu fokus sekolah dan dapetin beasiswa itu." kata Pak Man, lagi. "Kalau tidak ada hal yang penting lagi, saya permisi dulu, Mas."