Semesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang.
Dia Karen...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Karen Laka, tidak ada yang berarti dalam namanya. Nama 'Karen', adalah ayah yang memberikan. Sedangkan 'Laka', yang tidak memiliki arti pasti, hanyalah plesetan dari kata 'Luka', bunda yang memberikan nya. Karena bagi bunda, kelahirannya adalah sebuah luka yang hadir untuk memenjarakan bunda dalam rasa sakit dan trauma.
Karen Laka, manusia yang penuh kekurangan. Fisiknya memang hampir sempurna, dengan wajah tampan, alis tebal, kulit putih, dan juga tatapan mata yang tajam namun selalu terlihat sayu itu. Namun, bukan berarti semua yang terlihat mata adalah gambaran dari kata 'sempurna'. Karena sejatinya, manusia tidak ada yang sempurna.
Kekurangan Karen Laka itu banyak. Banyak sekali menurutnya. Sampai-sampai ia sendiri tidak bisa mengatakan satu per satu apa kurangnya. Kekurangan itu lah yang membuat bunda tak pernah melihatnya sebagai seorang putra. Yang bunda lihat adalah Karen Laka yang hadir sebagai luka.
"Karen, lo dicariin Sagara. Katanya di tunggu di tempat biasa."
Karen, yang tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja, seketika mendongak begitu suara itu terdengar. "Oh, oke! Nanti gue ke sana. Thanks, ya!"
"Yoi!" Seseorang yang tadi berbicara itu, berlalu pergi keluar dari kelas Karen.
"Mau kemana lo?" Dewa yang baru saja datang dari ruang OSIS, bertanya pada Karen.
"Ke luar sebentar, ada urusan."
"Ke mana?"
"Eum ... Sagara nyariin gue. Nggak lama, kok, sebelum bel masuk gue udah balik."
"Gue ikut."
"De, serius deh, jangan. Sagara nggak bakal ngapa-ngapain gue."
Kedua mata Dewa masih memicing—seolah tak percaya dengan apa yang Karen ucapkan. Namun, Dewa juga tidak mengeluarkan bantahan. Kepalanya mengangguk, tanda memberi izin untuk Karen.
"Gue pergi bentar." kata Karen, sembari menepuk bahu temannya tersebut.
Tempat biasa yang Sagara maksud adalah rooftop. Sagara dan Abimanyu memang biasanya selalu berkumpul di sana, dengan beberapa anak-anak yang memang dekat dengan Sagara. Jadi, Karen tak perlu bertanya dimana Sagara menunggu, kini langsung melangkahkan kakinya menuju lantai paling atas dari gedung sekolah nya tersebut.
"Lo nyari gue?" Begitu sampai, Karen bisa melihat hanya ada Sagara di sana. Tidak ada yang lainnya. Cowok itu tengah duduk di tepian, dengan kaki yang bergelantungan ke bawah.
"Hmm. Hampir seminggu ini gue nggak bisa ketemu sama lo." Sagara menoleh, lalu memasang senyum tipis. "Stop main kabur-kaburan nya, Karen."
"Gue nggak kabur," Kini Karen bergabung bersama Sagara. Ikut duduk di samping cowok berkulit putih pucat itu. "Lo pasti udah tau, 'kan, semuanya?"
"Abeng udah cerita." Pandangan Sagara kini jatuh ke depan. Menatap langit yang terlihat begitu cerah hari ini. "Seharusnya, hari ini lo juga ketemu sama dia, 'kan? Udah tau apa yang harus lo lakuin?"