22. Tidak di Izinkan Bahagia

702 78 33
                                    

Karen tidak pernah menyangka, jika bunda masih tidak akan melepaskannya juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karen tidak pernah menyangka, jika bunda masih tidak akan melepaskannya juga. Kembali mengingat tentang kejadian beberapa saat lalu, ketika lima orang pria berbaju hitam dan berbadan besar tiba-tiba menghadang motor nya. Ia yang saat itu akan pergi ke pasar untuk mengantarkan pesanan kue, harus menunda perjalanan.

Kelima pria itu memang tidak melakukan apapun padanya. Namun, salah satu di antara mereka mengeluarkan sebuah ancaman. Berupa kalimat yang ternyata titipan dari sang bunda. Tubuh nya seketika mematung. Bahkan setelah kelima pria itu pergi, ia masih tetap berada di sana untuk beberapa saat. Sampai benar-benar memahami situasi, Karen sadar, bahwa dirinya dalam bahaya.

Mungkin, bukan hanya dirinya. Tetapi juga Jaka dan ibunya.

Acara pernikahan Jaka akan berlangsung 3 hari lagi. Tak terasa waktu bergulir dengan begitu cepat. Saat ini, tidak banyak waktu untuk berbasa-basi lagi. Bahkan beberapa tetangga pun sudah datang ke rumah, untuk membantu.

Suasana rumah yang riuh dan ramai, tetapi Karen tetap berada pada isi pikirannya sendiri. Dan Jaka adalah satu-satunya orang yang menyadari. Sejak anak itu pulang dari pasar tadi, Karen seolah menjadi pribadi yang sangat-sangat berbeda. Anak itu banyak sekali diam, dan hanya memberi tanggapan secara singkat. Bahkan Budi pun tak mampu menggerakkan minat Karen.

"Ren, kenapa? Kamu sakit?" Tak tahan melihat kerutan di dahi Karen semakin dalam, Jaka akhirnya melayangkan sebuah pertanyaan. "Dari tadi Mas perhatiin kalau kamu diem aja. Sakit, ya?"

"Ah? Enggak, Mas. Aku nggak pa-pa, kok." Karen buru-buru menyangkal. "Masih belum selesai, ya, ibu-ibu yang masak di dalam?"

"Sebentar lagi selesai. Nggak masak banyak, kok. Cuma buat syukuran nanti malam saja. Karena di bantu banyak orang, jadinya cepat selesai." Sejenak, Jaka memperhatikan raut wajah Karen sekali lagi. "Maaf kalau Mas lancang, Ren. Kalau kamu punya masalah, kamu bisa lho cerita sama Mas. Atau, bisa juga cerita ke Ibuk. Teman-teman kamu juga ada. Mas ada, nih, nomor mereka. Mau menghubungi mereka?"

"Nggak usah, Mas." tolak Karen. "Aku cuma lagi cape aja. Kayanya mau tidur sebentar, deh. Nanti sore tolong bangunin aku, ya?"

"Ren—"

"Aku masuk dulu, Mas."

Belum sempat Jaka menyelesaikan kata-katanya, Karen sudah lebih dulu menyela. Anak itu bahkan langsung berlari ke dalam tanpa menengok lagi ke belakang. Jaka menghela napas panjang. Sejak mengenal Karen, dirinya yang sejak awal menjadi anak tunggal, kini seolah memiliki peran seorang kakak untuk adiknya. Kehadiran Karen pun tanpa sadar sudah merubah kehidupan nya begitu banyak. Rasa kepedulian ini muncul begitu saja tanpa aba-aba.

"Kayanya aku harus ketemu sama Sagara dan yang lain." gumam Jaka pada dirinya sendiri. Kemudian nekat untuk pergi, walaupun harus sedikit berdebat dengan ibunya. Ibunya memang melarang Jaka untuk berpergian jauh, takut jika akan terjadi sesuatu yang buruk. Namun begitu menjelaskan alasannya, apalagi jika ini menyangkut Karen, ibunya mau tak mau mengangguk setuju.

 |✔| Karen Laka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang