2

406 66 2
                                    

"Fiuh... "

Lima jam sudah, Elio mengelilingi kota untuk mencari pekerjaan tetap dan tidak membuahkan hasil apapun. Ada sih yang menyediakan lowker, tapi persyaratan untuk diterima sangat amat membagongkan. Bayangkan, hanya untuk menjadi pramusaji saja harus memiliki tinggi 180 cm, dengan wajah tampan maupun cantik. Untuk masalah tampan mungkin Elio bisa mengcover, tapi untuk tinggi, tingginya hanyalah 140 cm! Ada lagi yang membutuhkan kasir, tapi si pelamar harus bisa angkat beban kehidupan! Ada satu yang membutuhkan art, tapi syaratnya harus bisa melumpuhkan beruang? Astaga.... Ada apa dengan dunia novel sialan ini? Bukankah itu semua tidak masuk diakal?

"Arghhhh sialan! Hiks... Nyari kerja ternyata susah hiks juga ya? Hiks... Gue kira hiks.. Gue kira segampang gue ngabisin duitnya bang Celo hiks... "

Elio duduk merenung di trotoar tepat di depan gedung kantor mungkin? Pipinya sudah basah oleh air mata, pakaian putih kusam nya juga sudah kotor karena debu. Elio menelungkupkan wajahnya di lipatan kaki, memeluk lututnya sendiri guna meredam tangisnya. Sungguh Elio malu jika seseorang melihatnya menangis, tapi dia benar benar sedih saat ini, dan ingin menangis sepuasnya.

.
.
.

Seorang remaja menatap lamat pemandangan di di bawah sana, tepatnya pada jalanan di depan gedung kantor ayahnya. Sementara si pemilik gedung sedang berkencan ria dengan tumpukan kertas dan berkas yang entah apa isinya. Mata remaja itu terus tertuju pada seseorang yang tidak asing di matanya. Tubuh kurus pendek, rambut putih sedikit panjang serta pakaian lusuh benar benar mengganggu matanya. Tatapan itu bukan tataan jijik, tapi lebih ke arah benci dan muak.

Tapi lama kelamaan tatapan itu berubah, terlebih saat bahu dari objek yang diperhatikan nya bergetar. Dia mengalihkan tatapannya pada sang ayah yang masih betah di tempatnya. Terlihat dia ingin mengutarakan sesuatu, tapi ragu dengan apa yang nanti keluar dari bibirnya.

"Ada apa, Vian? "

Oh, sepertinya si ayah menyadari tatapan putranya. Remaja itu- Alvian mengalihkan pandangannya ke arah lain, malu saat kegiatannya dipergoki orang lain.

"Kau butuh sesuatu? "

Vian tampak masih bimbang dengan pikirannya sendiri, ".... Anak itu, bisakah daddy menemuinya untukku? "

Pria itu- Arsean memutar kursinya dan menatap seseorang yang ditunjuk sang anak. Matanya menatap bergantian dari objek pandangan Vian dan juga Vian itu sendiri secara berulang. Tidak biasanya Vian meminta hal seperti itu.

"Bukankah kau bisa menemuinya langsung? "

"Entahlah... Aku tidak mau. " ucapnya lirih.

Sean menghela nafas berat sebelum beranjak pergi dari uang kerjanya, meninggalkan Vian yang masih menatap rumit objek di depannya.

...

Beralih pada Sean yang sudah berada di luar kantor, tepatnya tidak jauh dari seseorang berambut putih. Sean belum mendekat, dia memperhatikan bahu yang bergetar itu. Jelas sekali kalau dia sedang menangis, entah karena apa.

Sean lagi lagi menghela nafas lalu mendekat, menepuk pundak remaja itu pelan. Si empu terlonjak kaget dan langsung mendongak, membuat mata merek saling bertatapan.

"Kau tak apa? "

Elio yang kepergok menangis langsung berdiri sambil mengusap matanya kasar. Dengan cepat dia menggeleng sebagai jawaban. Entah kenapa reaksi tubuhnya, padahal Sean hanya menatapnya datar tapi itu terlihat menyeramkan.

"Kau bisu? "

"Eng-engga hiks.. Io nda bisu k-kok hiks... "

"Kenapa menangis? "

Book Of ElioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang