23

275 32 5
                                    

GEMA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

GEMA

Langit di atas Pantai Parangtritis tampak begitu biru. Angin laut yang lembut menyapu rambutku yang tengah duduk sendirian di atas pasir. Aku memang ingin sendiri. Tanpa dibayang-bayangi masalah apa pun.

"Sendirian aja?" Suara seorang laki-laki tiba-tiba terdengar dari sisi kiriku.

Aku mendongak. Pandanganku tertutup terik cahaya matahari. Wajahnya hanya berupa siluet hitam. Tapi bahkan dari siluetnya, aku mengenali fitur wajahnya. Satrio yang berdiri di sana, mengenakan kacamata hitam. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Kelihatannya gue sama siapa?" Aku bertanya balik.

Satrio terkekeh. Dia ikut duduk di sampingku. Kami menikmati suara debur ombak. Saling diam.

"Udah lama ya kita nggak pernah ngobrol berdua begini, Gem. Ngobrol yang bener-bener ngobrol," cetus Satrio setelah hening beberapa saat.

"Gue juga lupa kapan." Aku memperhatikan kakiku yang telanjang diselimuti pasir.

Hening lagi. Mungkin setelah mengetahui perasaanku, suasana antara kami tidak akan pernah sama lagi. Canggung dan aneh seperti ini.

"Kok lo tau gue ada di sini?" Aku buka suara lagi.

"Gue kenal lo, Nyuk," sahut Satrio. "Lo orang melankolis, Gem. Di saat lo sedih, lo ada masalah, lo pasti akan kembali ke tempat yang membuat lo bahagia. Tempat kenangan indah paling banyak dibuat."

Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Tidak yakin dengan omongan Satrio barusan.

Satrio melanjutkan sambil memandang ke arah laut yang berkilauan dalam warna kebiruan. "Lo inget nggak, waktu kecil, pas lo ngambek, lo pasti kabur ke—"

"Rumah Paklik Darya, sebelum pindah ke Bantul." Aku mengangguk.

"Semua yang terjadi pas kita masih kecil sampai sekarang, nggak ada yang gue lupain." Satrio menaikkan kacamata hitamnya ke atas kepala. Dia mendongakkan kepalanya, menghadap matahari dengan mata terpejam. "Dari masa-masa sedih, seneng, sampai kejadian kocak juga gue inget."

Biasanya, setiap melihat Satrio, jantungku berdegup sangat cepat. Tidak peduli seberapa sering aku melihatnya. Dulu di mataku, Satrio bagaikan sosok pangeran berkuda putih di novel-novel romantis.

Hari ini, jantungku berdegup tenang sekali. Tentu saja, aku senang bertemu dan ngobrol dengan Satrio. Tapi semua degupan, getaran, kupu-kupu yang biasanya membuat perutku bergolak, sepertinya telah pergi.

"Lo pasti ke sini karena mau omongin apa yang terjadi antara gue dan Gaya, kan?" ujarku langsung ke pokok tujuan Satrio berada di sini.

Satrio menggeleng. "Bukan antara lo dan Gaya, tapi antara lo dan gue." Dia memandang langsung ke mataku. "Apa yang sebenarnya selama ini lo pendem ke gue, Gem?"

Langkahan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang