Lebih dari Sekadar Cinta

238 16 1
                                    

DIEKO

Gue merapikan kancing kemeja batik yang nuansanya senada sama kebaya Gema. Merah marun. Gue melirik Gema dari sudut mata. Dia kelihatan gusar, tangannya sibuk merapikan lipatan kebaya yang udah jelas-jelas rapi banget. Tapi, ekspresi mukanya nggak bisa bohong—alisnya sedikit mengernyit, bibirnya menipis, seperti lagi menahan sesuatu.

Gue tahu kenapa dia kayak gitu. Pasti gara-gara soal anak. Pertanyaan yang itu-itu lagi dari Ibu, Mami, dan Papi. Sejak awal gue tahu ini bakal jadi masalah, tapi gue nggak pernah tahu harus gimana nyelesainnya. Gema selalu yang lebih vokal soal ini, lebih tegas. Tapi, di sisi lain, gue juga khawatir.

Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba nyari cara buat ngeyakinin diri gue sendiri kalau semuanya bakal baik-baik aja. Tapi, gimana ya? Gue juga bingung. Gue tahu ini penting buat keluarga, buat orang tua. Gue paham harapan mereka. Cuma... buat Gema, ini belum saatnya, dan gue harus hormatin itu. Masalahnya, nggak mungkin gue terus-menerus ngasih harapan palsu buat mereka.

"Aku udah oke belum, Sayang?" tanya gue, sekalian menggoda Gema.

Gema nggak jawab, tapi gue bisa lihat tatapannya di cermin, berat.

Gue menghela napas pelan. Jelas ada beban dalam pikirannya. Dan, gue nggak bisa nyalahin dia.

***

GEMA

Aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan diriku sendiri. Riasan wajahku sudah sempurna, kebaya merah marun yang kupakai membalut tubuhku dengan pas, tapi perutku terasa kaku. Aku tahu harus tersenyum nanti, harus bersikap anggun dan manis di depan semua orang, tapi dalam hati, aku malas setengah mati. Mereka pasti akan bertanya lagi. Pertanyaan yang selalu sama.

Soal anak.

Terdengar suara langkah pelan di belakangku. Dieko mendekat, melingkarkan kedua lengannya di pinggangku. Kehangatan tubuhnya sedikit menenangkan.

"Kenapa sih, mukanya cemberut gitu?" tanyanya penasaran. Aku menatap suamiku lewat pantulan cermin. Matanya mencari jawabanku.

"Kalau Ibu, Mami, dan Papi nanya soal anak lagi gimana?" tanyaku, sudah bisa menebak arah pembicaraan keluarga nanti. Mereka tidak pernah berhenti bertanya.

Dieko tersenyum, lalu mengangkat bahu. "Ya... bilang aja kayak biasa, 'doain aja ya'. Gampang, kan?"

Aku mendengus. "Kamu mikirnya gampang, tapi buat mereka, kita itu dalam keadaan darurat punya anak."

Dieko menunduk sedikit, memelukku lebih erat. "Wajar nggak sih? Kita nikah udah mau setahun, Sayang."

Aku mendesah, mencoba menahan perasaan yang mulai berkecamuk.

"Emangnya kamu nggak mau pertimbangin—"

Aku cepat-cepat memotongnya. "Pertimbangin apa? Punya anak?"

Dieko mengangguk pelan. Matanya masih menatapku, seolah mencari sesuatu yang mungkin berubah dalam pikiranku.

"Kita udah bahas dan sepakat ya, Ko," aku menegaskan, sedikit tajam. "Kita bakal mulai program tahun depan. Nggak sekarang."

Dieko menghela napas panjang, melepaskan pelukannya sedikit. "Kalau gitu, seenggaknya kita kasih orang tua kita pengertian, apa yang terjadi sebenarnya."

Aku berbalik, menatapnya langsung. "Nggak ya, Ko. Awas aja kamu cerita-cerita."

Wajahnya sedikit mengendur, tapi dia tidak menyerah. "Kalau kita nggak cerita, gimana mereka bisa mengerti, Sayang? Mereka akan neror kita terus."

Aku terdiam. Kata-katanya masuk akal, tapi itu bukan solusi yang ingin kudengar sekarang. Belum sempat aku memberi jawaban, terdengar ketukan di pintu kamar. Kami berdua menoleh.

"Ibu," bisikku. Aku kenal suara yang memanggil kami.

Acara tujuh bulanan kehamilan Gaya sudah akan dimulai.

***

Ini sekuel dari LANGKAHAN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini sekuel dari LANGKAHAN. Novella. Sekitar 10-12 bab.
Nantinya akan publish di Karyakarsa, ada jadwalnya ya.

Langkahan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang