1 - Jarak yang Menyusut.

29 2 3
                                    


"Bolehkah kita menari dalam resah, jika kedekatan mulai menghapus segala jarak yang ada?"

-------------------------------🦋------------------------------

Aku berdiri di depan kelas, memeriksa jam tangan yang terpasang di pergelangan tanganku. Jam menunjukkan hampir pukul empat sore—waktu yang tepat untuk pulang setelah satu hari penuh aktivitas yang melelahkan.


Aku menghela napas, merogoh saku rokku untuk mengambil hp, berharap ada notifikasi. Tapi layar hanya menampilkan keheningan, tanpa pesan masuk.

Tiba-tiba, suara riang memecah keheninganku. "Aruna!" seruan itu datang dari Vani, teman sebangku-ku. Dia mendekat dengan senyum lebarnya, mengayunkan tas di punggungnya sambil sedikit melompat. "Ayo balik! Aku udah nggak sabar mau buka paketku!" katanya, dengan nada antusias yang begitu khas.

Aku tersenyum tipis mendengar celotehannya. "Paket apa lagi sih kali ini?" tanyaku sambil berjalan bersamanya menuju pintu gerbang sekolah.

"Baju terusan tema bunga. Udah lama aku incer! Kebayang nggak sih, udah sebulan nunggu, baru sampe hari ini!" jawabnya dengan nada sedikit histeris. Mata Vani berkilat, dan itu cukup untuk membuatku ikut senang meskipun aku tidak terlalu peduli soal belanja online seperti dia.

"Semoga pas, ya. Jangan kegedean atau kekecilan," kataku sambil setengah bercanda.

"Makanya itu! Aku takut bajunya nggak cocok di badan anjir. Berat badan aku tuh susah banget naik, padahal udah nyobain minum susu kedelai kayak kamu," Vani meringis.

Aku tertawa kecil mendengar kekhawatirannya. "Ya mungkin kurang rutin. Atau jangan-jangan kamu cuma minum susu tapi nggak makan nasi. Gimana mau naik berat badan kalau gitu?"

Vani menepuk lenganku pelan sambil tertawa. "Hahaha! Bisa jadi. Aku di rumah ngemil doang, Ar! Semoga nanti pas dicoba nggak bikin aku kelihatan kayak pohon natal."

Kami melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Di luar, jalanan mulai dipenuhi kendaraan yang melaju perlahan, para siswa yang juga pulang, dan hiruk-pikuk kota yang seolah tak pernah beristirahat. Langit sore mulai berubah warna, oranye keemasan mencampur dengan awan tipis yang melayang. Ada perasaan damai setiap kali melihat langit seperti ini, meskipun seringkali kedamaian itu hanya bertahan sebentar sebelum pikiran-pikiran berat kembali menguasai.

Tiba-tiba, Vani menarik tanganku, membuatku hampir tersandung. "Loh, kenapa kamu?" tanyaku bingung.

Vani berbisik pelan, "Itu, ada Raka. Aku nggak mau ditegur soal pertemuan OSIS. Males banget, Ar. Pengen pulang."

Aku menoleh, dan benar saja, Raka berdiri tak jauh dari gerbang sekolah, sedang berbicara dengan satpam. Matanya fokus ke arah depan, seolah sedang serius dengan percakapannya. Namun, aku tahu bahwa tak lama lagi dia pasti akan menyadari keberadaan kami.

Aku tersenyum kecil sambil mengangguk. "Oke, ayo cepet pergi sebelum dia lihat kita."

Kami melangkah cepat, berusaha menghindari pandangan Raka. 

Setelah kami berhasil melewati gerbang tanpa ketahuan, Vani tampak lebih lega. Dia kembali bercerita tentang bajunya dan rencananya untuk mencobanya malam ini. Aku mendengarkannya dengan setengah hati, pikiranku masih tertinggal di belakang—pada sosok Raka yang berdiri di dekat gerbang sekolah.

"Ar, aku duluan ya! Abangnya udah nunggu!" seru Vani ketika ojek kesayangannya datang. Aku melambaikan tangan, menatapnya pergi sambil tersenyum kecil. Setelah itu, aku berdiri sendiri di tepi jalan, menunggu bus yang bisa membawaku pulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ngambang di Zona GalauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang