If you keep questioning love it's because you don't want to hear its answer
-Elaine haysSebuah ilusi emosional, penuh kepalsuan dan pengorbanan sia-sia. Bagi Frina, cinta hanyalah topeng untuk menutupi rasa sakit yang terus-menerus diciptakan, seolah dua manusia yang saling "mencintai" tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya saling memanfaatkan. Semua orang membicarakan cinta dengan indahnya, padahal itu hanyalah alat untuk menghancurkan diri sendiri dan orang lain atas nama perasaan.
Ayahnya selalu berkata bahwa dia mencintai ibunya. Tapi, cinta yang sama justru melumpuhkan impian terbesar wanita yang 'dicintainya' itu.
Deretan para mantan-nya pun mengklaim mencintainya, tapi berakhir dengan membuat Frina merasa bodoh, direndahkan, dan kehilangan kepercayaan. Tertipu.
Dalam pikiran Frina, cinta hanyalah sebuah permainan, dan dia tidak ingin jadi pemain yang kalah dengan 'sukarela' atas dasar kasih sayang lagi.
"Setelah semua stabil, aku akan adopsi lima baby furry dan adopsi anak bayi dari panti asuhan ketimbang melahirkan 'Afrina' yang lain."
Ya, kira-kira begitulah isi janji yang ia katakan kepada dirinya sendiri.
Berbeda dengan Nala, atau Nalara, sahabat dua belas tahun Frina yang selalu khawatir akan sahabat kesayangannya yang terlalu nyaman melajang itu,
"Dateng please! Ya, ya, ya?!"
"Udah aku bilang ke-sepuluh kalinya, Nalara! Aku capek dijodoh-jodohin kayak gini. Please stop, can you?" Frina menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. Dia bisa merasakan wajahnya memerah karena panas dan otot kepalanya menegang.
Nala, yang mendengarkan dengan tenang, bertekad bulat pada keputusannya. Wajahnya penuh teduh meskipun tanpa ekspresi, meski Frina sudah menyampaikan pendiriannya berulang kali yang sangat bertolak-belakang dengan keinginannya.
Hening sesaat, hanya suara daun bergesekkan dari jendela ruang tengah Nala yang bersuara. Setelah mengatur pernafasannya menjadi lebih tenang, Afrina pun membuka suara, Biar bagaimanapun ia tahu bahwa Nala hanya berusaha membantu,"Nala, Kamu tau aku nggak percaya sama konsep pernikahan. Aku nggak mau pura-pura bahagia cuma demi menyelamatkan 'hubungan' yang kamu jodoh-jodohin itu. Aku gak punya sisa waktu untuk mikirin semua omong kosong yang orang bilang 'cinta' itu." Frina tak bisa menutupi lagi hasrat melarikan dirinya kali ini, memijat dahinya dengan frustasi.
"Kali ini beda, Frin! Percaya deh, kamu pasti suka sama cowok ini," Nala tersenyum penuh harapan, tapi Frina hanya memutar matanya dengan jengah.
"Aku lesbi," ucap Frina datar, mencoba mengakhiri pembicaraan dengan sarkasme.
Nala mengabaikan pernyataan itu dan mengembuskan napas panjang. Dia tahu sahabatnya terlalu keras kepala untuk menerima orang baru di hidupnya, terutama setelah semua luka itu.
Luka yang tak pernah gagal membuat Frina meneteskan air mata ketika mengingatnya setiap malam yang sunyi datang menggerogoti jiwanya yang rapuh."Frin, kamu berhak bahagia," kata Nala lembut. "Aku cuma nggak mau kamu kalah sama masa lalu. Gak semua cowok kayak ayah atau mantan-mantanmu itu, kan?"
"Sampe mati pun aku gak masalah gak menikah." Frina langsung memotong ucapan Nala dengan tegas, tidak setuju dengan pernyataan Nala.
Percakapan itu berakhir dengan janji Frina untuk menginap di rumah Nala malam itu untuk kembali membicarakan hal yang sama. Meski kadang menyebalkan, Nala adalah satu-satunya orang yang bisa menembus pertahanan hati Frina. Persahabatan mereka sudah melewati banyak cobaan, dan Nala selalu ada untuk Frina—di masa paling kelam sekalipun. Begitupun sebaliknya.
Frina meninggalkan apartemen Nala dengan perasaan bercampur aduk. Apakah benar ia yakin akan keputusannya untuk selamanya sendiri? Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan, tapi Frina selalu yakin bahwa hidup tanpa cinta jauh lebih akan membuatnya tenang.Sejahtera, setidaknya.
Setelah beberapa jam sibuk berkutat dengan laptopnya, ponselnya berbunyi. Nala menelepon dengan nada ceria, meminta Frina menjemputnya di bandara. Ada sesuatu yang Nala sembunyikan, sesuatu yang Frina takkan bisa hindari. Setelah memutuskan telepon, Nala tersenyum penuh kepuasan. Dia sudah menemukan kandidat ke-sepuluh untuk Frina. Entah bagaimana, kali ini dia merasa yakin. Pasalnya, pria ini tidak menye, tidak insecure, mapan, tampan, stabil secara emosional, dan yang terpenting, pria ini fasih dalam menyelami sisi psikologis seseorang mengingat pekerjaannya adalah konselor. Cocok dengan Frina yang sama-sama suka menggali sisi psikologi dalam segala hal.
Tepat!
Mereka punya banyak kesamaan yang dapat menjadi bait perkenalan mereka menjadi lebih mendalam.
Ujung bibir Nala melebar, matanya menampilkan eye-smile termanisnya yang biasa ia tampilkan ketika merasa yakin akan sesuatu dan antusias. Ia mengangguk mantap dan menatap atap-atap dengan penuh harap rencananya akan berhasil kali ini."Elias," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Trust No One
RomantikFrina, seorang wanita berambut lebat hitam pekat yang terlampau-kokoh dan penuh tembok pertahanan diri, hidup dalam bayang-bayang masa lalunya yang penuh luka. Baginya, cinta hanyalah mitos, dan komitmen adalah jebakan. Berulangkali mencoba, tapi t...