Selamat sore, temans. Update Rindu dulu, mumpung si bocil ada yang ngasuh😄😄
Rindu datang ke acara wisudanya tanpa semangat. Berbanding terbalik dengan orang tuanya yang terlihat antusias, bibirnya sama sekali tak menyunggingkan senyum. Matanya tidak berbinar seperti hampir semua peserta wisuda di ruangan yang sama.
Di kursinya, Rindu duduk menatap lurus ke depan. Dia tidak menyadari rombongan Senat Perguruan Tinggi yang menghadiri ruangan, disusul sambutan-sambutan dan tarian cantik yang biasanya selalu menarik perhatian. Baginya, lebih cepat acara ini selesai, lebih baik pula untuk hatinya. Masa bodoh dengan jumlah lulusan yang dihasilkan universitas beserta pencapaian-pencapain para alumni. Rindu hanya fokus pada dirinya sendiri serta seluruh rencana yang sudah ditata sedemikian rupa sesuai dengan keinginannya.
Sebenarnya, Rindu tidak seacuh itu. Sejak rombongan petinggi universitas memasuki ruangan, matanya mencari-cari keberadaan Segara. Logika dan tata kramanya memang berkata untuk tidak mengusik kehidupan sang dosen, tetapi hatinya tetap mencinta. Cerita cinta singkat mereka masihlah teramat manis meski kenyataan pahit telah menyiramkan racun paling menyakitkan dan memaksa diri untuk memangkas rasa.
Ritual awal acara bisa terlewat tanpa perhatian Rindu, tetapi mata tajamnya lekat memindai Segara dan seluruh gerak-geriknya. Menatap pria pujaan dalam keterdiaman saja, sakitnya masih meremas hati dengan kekuatan besar dan tak kasat mata. Bagaimana hari akan berlalu setelah ini? Dia mengeluh dalam hati.
Mata Rindu memanas memikirkan hari berat dengan luka hati yang akan terus mengikuti. Segara tak melakukan apa-apa di depan sana selain duduk diam. Sesekali pria itu akan menggeser duduk, mendekatkan telinga pada teman di sampingnya, lalu mengangguk disertai tersenyum kecil.
"Nggak usah sampai terharu gitu, Ndu!" bisik Putra yang duduk tak jauh di samping kanan Rindu. "Apa jadinya kalau riasan matamu luntur saat kamu menyalami rektor di depan sana?" Tangannya mengulurkan selembar tisu pada Rindu.
"Yang bener aja terharu!" Rindu menampik omongan Putra, tetapi menerima tisu dan menempelkannya dengan gerakan lembut ke sudut mata. "Ngantuk, semalem kurang tidur."
"Wajar, sih, kalau sampai kurang tidur. Akhirnya, setelah Avatar memenangkan pertempuran melawan raja negara api, kamu wisuda juga."
Rindu kesal, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. "Bisa ngomong yang lain?"
Putra berdecak. "Sensi!" gerutunya tanpa menatap wajah Rindu. "Nanti sore, aku ke rumahmu, ya? Sama orang tuaku. Sudah sarjana ini, pasti boleh meminang anak gadis Pak Dayat."
"Meminang gundulmu!" Rindu kembali mencela. "Pengangguran dilarang mendekat!"
Sedikit interupsi dari Putra memang bisa mengalihkan kesedihan Rindu untuk beberapa saat. Ketika perhatiannya kembali terfokus pada objek yang sama, segala kesedihan hati kembali menyapa. Disertai perih yang kembali menusuk matanya dengan bening hangat dan siap runtuh kapan saja.
Saat namanya disebut lengkap dengan gelar yang didapat, Rindu maju menemui pemimpin universitas yang memindahkan tali toganya dari sebelah kiri ke kanan. Selanjutnya, Rindu mendekati sang dekan yang hari ini tampil cantik dalam toga jabatan untuk memberikan map ijazah. Semua sesi itu diabadikan dalam foto seperti yang sudah-sudah, tetapi seluruh inderanya hanya tertuju pada Segara.
Untuk yang terakhir, pikir Rindu setelah duduk kembali di kursinya seraya terus menatap Segara yang tetap diam. Tak ada pergerakan berarti yang pria itu lakukan di depan sana. Keterdiaman membuat Segara terlihat semakin menarik di matanya. Baginya, sang dosen memang tak perlu melakukan apa-apa untuk terlihat menonjol atau menarik perhatian. Sudah ada gerak-gerik tersendiri untuk membuat pria itu terlihat menarik sehingga aura positifnya terlihat tanpa harus melakukan apa-apa.
Sebenarnya, Rindu sudah merelakan kisah cintanya dengan Segara berlalu. Sedikit pun, dia tidak mendendam. Apa yang berkecamuk dalam hatinya adalah kesakitan karena kebodohan yang disebabkan oleh diri sendiri. Selamanya, Segara tidak bersalah. Pria itu hanyalah pria kesepian yang menyambar kesempatan di depan mata.
Pikiran dan akal sehat Rindu memang mengatakan sudah merelakan Segara. Namun, di lubuk hati terdalamnya, sang dosen masihlah pria istimewa dengan banyak kelebihan. Orang yang menanamkan kebahagiaan walaupun singkat. Setidaknya, Segara sudah turut mewarnai harinya dengan warna-warna indah.
Rindu menarik napas panjang saat acara selesai. Para wisudawan semburat dari kursi masing-masing, untuk memeluk orang tua mereka. Begitu pula Rindu. Mamanya tak henti mengusap mata beliau yang basah. Bahkan papanya, orang yang selama ini begitu keras mendidiknya, juga melihatnya dengan tatapan berkaca-kaca.
"Boleh minta foto, Om?" tanya Putra tanpa malu di depan Dayat setelah kakaknya muncul dengan dua buket bunga. "Untukmu semua bunganya, Ndu! Tanpa teman sekelasmu, kamu tetap dapat bunga dan untuk kami ...." Putra menunjuk teman-teman Mapala. "Kamu yang termanis."
"Ya boleh," kata Dayat segera menyungging senyum. Tak sampai di sana, foto-foto dengan Rindu pun banyak dibuat. Bergabungnya Adiyanto turut membuat suasana kekeluargaan semakin terasa.
"Boleh melamar Rindu nggak, Om?" Dengan berani Putra mengutarakan pertanyaan. "Takut keburu keduluan yang lain."
Dayat menatap Rindu. "Nggak sekarang," ujarnya tegas, "Rindu baru memulai pekerjaannya dan Om rasa, kamu pun harus mencari pekerjaan, bukan? Pernikahan itu bukan melulu tentang cinta, tapi ada tanggung jawab yang lebih besar di sana."
"Saya sudah kerja, boleh nggak, Om?" Adiyanto maju, ada senyum bangga di bibirnya yang mengulas senyum.
"Wah, bagus itu kalau sudah kerja." Dayat tersenyum tulus. "Sudah berapa bulan?"
"Baru tiga minggu, Om."
"Coba terima gaji dulu. Kemudian, pakai untuk kebutuhanmu! Berapa sisanya? Cukup nggak untuk nyicil rumah dan kendaraan? Kalau cukup, kemudian pikirkan kebutuhan rumah tangga yang besarnya kira-kira tiga kali uang kosmu."
"Sudah paling cocok itu, Om!" Galang muncul dengan kamera di satu tangan. Tangan lainnya membawa edelweis yang dirangkai dengan bunga mawar dan anggrek serta beberapa coklat dengan merek berbeda. "Buketnya cuma buat Rindu, yang lain dilarang iri, kecuali sama-sama pakai kebaya." Setelah buketnya diterima Rindu, perhatian Galang kembali pada Dayat. "Om, jangan boleh anaknya dilamar kalau belum mapan!" Setelah salaman dengan orang tua Rindu, lelaki berkacamata ini menyalami Rindu dan teman-temannya satu per satu. "Selamat untuk kelulusan kalian. Makasih undangannya, Di!" Galang menepuk pundak Adiyanto. "Foto lagi?"
Rindu tidak tersenyum ketika Galang atau teman-temannya yang lain mengambil foto. Untuknya, semua itu tak lebih dari sekadar euforia yang tak sampai ke hatinya. Perasaannya hampa dan ingin pergi dari tempat ini secepat mungkin.
"Mana dosen yang membantumu, Ndu?" tanya Dayat pada Rindu yang membisu dengan buket bunga dan coklat di pelukan. "Papa bisa bertemu?"
Rindu belum menanggapi pertanyaan papanya, tetapi mata Galang sudah berputar cepat. Segara baru selesai berfoto dan mungkin akan pergi.
"Boleh minta foto, Pak Gara?" tanya Galang seraya mendekati dosennya.
"Boleh," jawab Segara.
"Selamat siang, Pak!" Dayat maju mendekati Segara. "Terima kasih sudah mengantarkan Rindu sampai wisuda."
Fokus Segara langsung tertuju pada Dayat setelah melihat Rindu yang tak jauh dari papanya. "Sudah merupakan tugas saya, Pak." Bahkan senyum yang biasanya sangat mahal, kini mengembang sempurna. Detail yang tak luput dari mata Rindu.
"Memang bagian dari tugas, tapi jika Bapak tak mendampingi ... Rindu tak akan sampai di titik ini. Sekali lagi, terima kasih banyak."
Segara memegang tangan Dayat dengan dua tangannya. Mata tajamnya lurus memaku tatap Rindu. "Dan saya berharap akan terus mendampingi Rindu di masa-masa yang akan datang."
Bapak ... saia baper. Eaa ....
Komenin yang banyak, biar besok tak update in lagi.Love, Rain❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Merah Jambu
RomanceRindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan proses tugas akhir, kekasihnya tewas dalam kecelakaan dan meninggalkan fakta bahwa pria itu ternyata memiliki istri yang sedang hamil anak perta...