2. Fotografi

51 36 36
                                    

Pagi itu, sinar matahari yang lembut masih enggan menembus tirai kamar Renza Bimantara. Suara dering telepon membangunkannya dari tidur, memecah keheningan pagi. Dengan mata yang masih setengah terpejam, Renza meraba-raba meja di samping tempat tidurnya, mengambil telepon dan menjawabnya dengan suara serak, "Hai, iya selamat pagi! Oke-oke, aku bangun, terima kasih sudah membangunkan ya.."

Setelah menutup telepon, Renza meregangkan badannya dan mencoba mengusir sisa-sisa kantuk yang masih terasa. Hari ini, dia tahu, tidak bisa dimulai dengan lambat. Ada banyak hal yang harus dilakukan. Setelah membersihkan diri, Renza mengenakan kemeja flanel yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans gelap dan sneakers favoritnya—pakaian yang nyaman namun tetap stylish.

Sambil mengumpulkan barang-barangnya, Renza memastikan semuanya sudah siap—album foto, kamera digital, kamera analog, dan beberapa printilan lainnya. Dengan langkah cepat, Renza keluar dari kamarnya dan menuju dapur.

Di dapur, aroma kopi dan roti panggang menyambutnya. Mamanya, yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan, menoleh dan tersenyum melihat anaknya.

"Renza, sarapan dulu, Nak!" ucap mamanya dengan nada lembut namun tegas, menawarkan sepotong roti panggang dengan selai di atasnya.

Renza tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. "Ma, aku benar-benar harus cepat-cepat. Ada banyak yang harus diatur di kampus," jawabnya sambil meraih selembar roti tawar dari meja dan langsung memasukkannya ke mulut. "Aku ambil roti ini saja ya."

Mamanya menghela napas, sedikit khawatir tapi paham akan kesibukan anaknya. "Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa makan nanti di kampus," katanya sambil menepuk bahu Renza dengan penuh kasih sayang.

Renza mengangguk cepat sambil mengunyah roti di mulutnya. "Iya, Ma. Pasti!" jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit teredam oleh roti yang masih di mulutnya.

Setelah berpamitan, Renza menuju garasi, di mana motornya sudah menunggu. Dia membuka jok motornya yang luas, lalu memasukkan semua barang-barang yang dibawanya dengan rapi. Setelah memastikan semuanya aman, dia menyalakan motor dan melaju keluar rumah.

Suasana pagi di rumahnya terasa sepi, hanya ditemani oleh suara deru motornya yang mulai menghilang di kejauhan. Papanya sedang dinas di luar kota, meninggalkan rumah yang hanya diisi oleh mamanya. Biasanya, saat Renza sibuk di kampus, mamanya akan menghabiskan hari sendirian, tenggelam dalam rutinitas harian yang sudah dihafalnya luar kepala.

Di jalan menuju kampus, Renza memfokuskan pikirannya pada kegiatan yang menantinya. Dia membayangkan bagaimana mengatur stand pameran agar menarik perhatian, tentang teman-temannya yang pasti sudah sibuk dengan persiapan masing-masing, dan tentu saja, tentang bagaimana hari ini akan menjadi hari yang panjang dan penuh tantangan. Meskipun demikian, Renza merasa bersemangat. Keterlibatan dalam event kampus ini bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang kontribusi yang berarti—baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Renza tiba di Aula utama kampusnya dengan napas sedikit tersengal. Membawa barang-barang dari parkiran menuju stand yang cukup jauh bukanlah tugas yang mudah, terlebih saat dia harus melakukannya seorang diri. Keringat mulai membasahi pelipisnya saat dia akhirnya melihat dua kawannya, Vino dan Noval, sedang sibuk menata meja dan hiasan-hiasan di sekitar stand mereka. Aula tersebut dipenuhi dengan kesibukan yang khas dari sebuah event besar—suara obrolan, tawa, dan gemerincing peralatan yang sedang diatur bergema di seluruh ruangan.

Renza berjalan mendekati stand mereka dan meletakkan barang bawaannya dengan helaan napas yang panjang, melepaskan beban yang sudah dia pikul sejak dari parkiran.

"Hati-hati hey, itu sudah ku susun mejanya, awas berantakan lagi!" seru Vino, yang menghentikan pekerjaannya sejenak untuk mengawasi Renza dengan tatapan pura-pura marah.

Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang