Prolog

144 50 14
                                    

Aku berdiri di tengah medan perang, suara tembakan peluru dan ledakan bom menggema di segala arah. Di sekelilingku, prajurit-prajurit berteriak, saling memanggil nama rekan yang hilang, dan senjata meletus tanpa henti. Tank-tank baja bergerak lamban di antara reruntuhan, sementara yang lebih mencengangkan—para penyihir ikut bertempur.

Penyihir-penyihir ini tidak membawa senjata api seperti prajurit militer. Mereka datang dengan senjata kuno, pedang, tombak, busur, gada, dan tongkat sihir. Beberapa bahkan bertarung hanya dengan tangan kosong, melemparkan sihir elemen-elemen dasar—api, air, tanah, dan angin. Aku menyaksikan, kekuatan-kekuatan ini beradu, menghantam satu sama lain dengan ledakan dahsyat.

Pasukanku, termasuk para penyihir, semuanya mengenakan jubah hitam. Mereka hanya berselubung dalam warna kegelapan. Sementara di pihak lawan, prajurit-prajurit biasa mengenakan seragam militer standar, tapi para penyihir mereka dibedakan dengan jubah putih—terlihat kontras, berlawanan dengan warna kami.

Aku berdiri berhadapan dengan seorang penyihir lawan. Dia tinggi, rambut hitamnya terlihat rapi, wajahnya damai meski berada di tengah kekacauan. Dia tersenyum seolah kehadiranku adalah kabar baik. Dialah Arif.

“Menyerahlah, kawan. Kembalilah ke sisi kami,” katanya lembut, senyumnya tak pudar sedikit pun.

Aku menatapnya tanpa rasa gentar, berdiri tegap di antara pasukanku, jubah hitamku berkibar. Di belakangku, beberapa prajurit menunggu perintah, tangan mereka tersembunyi di balik jubah hitam yang menyelimuti tubuh mereka.

Tiba-tiba, Arif mengangkat tangan kanannya dan memetik jarinya. Dalam sekejap, dunia di sekelilingku menjadi hening. Suara tembakan, ledakan, bahkan teriakan—semua lenyap. Aku menoleh, menyadari bahwa semua orang, baik kawan maupun lawan, membeku di tempat. Arif... dia menghentikan waktu.

Dia berjalan mendekat, langkahnya tenang, matanya tetap terkunci pada diriku. Tubuhku menegang, waspada, tapi dia terus mendekat hingga jarak kami tinggal dua meter.

“Ingatlah perjalananmu, Raka. Dari awal,” katanya dengan suara hangat yang menusuk hati.

Aku menunduk, merasakan frustrasi mulai membuncah dalam diri. “Dari awal? Sejak aku lahir?” tanyaku.

Arif menggeleng pelan, senyumnya tetap tenang. “Tidak, Raka. Ingatlah saat pertama kali kau mengenal sihir.”

Aku menatapnya lagi, mata kami bertemu. Perlahan, ingatan-ingatan masa lalu membanjiri pikiranku.

Namaku Raka, dan aku adalah seorang penyihir.

Askarayudha [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang