14. Latihan Kedua

13 9 0
                                    

Pagi tiba, aku dan Guru Drona kembali ke hutan untuk berlatih sihir. Jam baru menunjukkan pukul tujuh, udara masih segar dengan aroma tanah yang basah akibat embun. Burung-burung bernyanyi di antara dedaunan, dan cahaya matahari yang menerobos celah-celah pepohonan menciptakan pola bayangan yang indah di tanah.

Guru Drona berdiri beberapa meter di depanku. Seperti biasa, ia mengenakan kaus putih sederhana dan dhoti yang melambai tertiup angin pagi. Penampilannya tak pernah berubah, selalu tenang dan berwibawa. Aku, di sisi lain, masih mengenakan pakaian latihanku dari hari sebelumnya. Rambut panjangku diikat ke belakang dalam man bun yang rapi.

"Raka," Guru Drona mulai berbicara, suaranya tenang namun berwibawa. "Hari ini kau akan belajar menyalurkan energi sihirmu dari sumbernya ke anggota tubuh lain."

Aku mengangguk, berusaha fokus pada instruksi yang diberikan. Tantangan baru ini terasa lebih rumit—menyalurkan energi sihir dari satu titik ke titik lain dalam tubuhku sendiri.

"Eh, Guru," tanyaku ragu, "dimana sebenarnya sumber energi sihir itu?"

Guru Drona tersenyum lembut, sebuah ekspresi yang menenangkan. "Di perutmu, Raka. Kau akan merasakannya seperti sebuah pusat kekuatan yang tersembunyi. Energi sihir itu akan mengalir ke seluruh tubuhmu melalui saluran tak terlihat, seperti pembuluh darah, meskipun kau tak akan bisa melihatnya secara fisik."

Aku kembali mengangguk, mencoba memahami lebih dalam apa yang ia katakan. Seperti yang sering terjadi saat berlatih, banyak hal yang hanya bisa dirasakan, tidak dipahami secara logis. Aku berdiri tegak, menutup mata dan mulai mencoba merasakan sesuatu di dalam diriku, sesuatu yang selama ini mungkin sudah ada tapi belum pernah kusadari.

Dalam beberapa detik, aku mulai mengejan, berusaha keras untuk merasakan energi itu. Tapi bukannya merasakan kekuatan, aku malah mulai merasa tegang.

Guru Drona, melihat usahaku yang berlebihan, tertawa pelan. "Santai saja, Raka. Jangan terlalu tegang, nanti malah kentut." Ada nada bercanda di suaranya, tapi aku tahu ia serius juga.

Aku membuka mata dan menatapnya, sedikit kesal. "Aku tidak sedang ingin kentut, Guru."
Dia tertawa lebih keras, mengingatkanku pada betapa santainya dia menghadapi segala hal. Meskipun aku berusaha keras, Guru Drona selalu tampak seperti seseorang yang sudah tahu hasil akhirnya.

Akhirnya, aku berhasil merasakan sesuatu—sesuatu yang hangat mulai menyebar dari pusat perutku, perlahan-lahan memenuhi tubuhku. Ini adalah energi sihirku. Perasaan ini... aneh, tapi sekaligus sangat familiar, seperti bagian dari diriku yang selama ini tertidur dan baru saja bangun.

"Sudah terasa?" tanyanya, suaranya lebih serius sekarang.Aku mengangguk perlahan, merasa puas dengan apa yang baru saja kualami. "Ya," jawabku singkat, sambil menyeringai tipis.

Guru Drona mengangguk, tersenyum penuh kebanggaan. "Bagus. Dan semoga itu bukan hanya kentut. Raditya dulu juga begitu, mengira itu energi sihir, tapi ternyata..." Dia tertawa kecil lagi, kali ini lebih lembut.

Aku menahan tawa, membayangkan Raditya yang kentut saat berlatih. Ia memang selalu punya cara untuk membuat situasi canggung. Cerita-cerita konyol tentang Raditya seperti ini selalu mengingatkanku bahwa dia juga punya perjuangannya sendiri.

Fokusku kembali pada latihan. Aku sudah merasakan energi itu di perutku, dan sekarang saatnya menyalurkannya ke anggota tubuh lain. Tangan, pikirku, adalah pilihan yang paling mudah karena sering digunakan oleh penyihir dalam berbagai sihir dasar, itu tertulis dalam buku-buku yang kubaca. Aku mulai menyalurkan energi tersebut, membayangkan alirannya seperti sungai yang bergerak perlahan dari perutku, naik menuju dadaku, lalu berbelok ke pundak, turun lagi ke lengan, hingga akhirnya mencapai telapak tanganku.

Askarayudha [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang