13. Meditasi

11 10 0
                                    

Phoenix itu, monster besar yang tubuhnya sepenuhnya terbuat dari api yang membara, menatap langsung ke arahku. Hanya kepalanya yang tampak, mengambang di dalam kurungan. Matanya menyala seperti matahari yang menyemburkan panas tak tertahankan. Aku langsung merasakan ketakutan menjalar di seluruh tubuhku. Monster ini... Phoenix ini... Dia yang telah menghancurkan segalanya. Dia yang bertanggung jawab atas kematian kedua orang tuaku. Amarah dan ketakutanku bercampur jadi satu, membuat tanganku gemetar.

“Halo, Raka,” suaranya bergema, berat dan berwibawa, seperti gunung yang berbicara. Setiap kali dia membuka paruhnya, asap hitam mengepul keluar. Aku menahan napas, tidak percaya dia bisa berbicara denganku. Lebih dari itu, aku tidak tahu harus berbuat apa.

Aku mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan emosi. Namun, dendam itu tak bisa dibendung. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan suara yang terdengar goyah meski aku berusaha tetap tenang.

Phoenix tertawa, tawanya penuh dengan kesombongan, nadanya mengandung ejekan. "Santai saja, Raka. Aku tidak bisa melakukan apa-apa di dalam kurungan ini. Ayahmu... dia luar biasa. Dia yang berhasil menyegelku di sini.

"Aku terdiam, mendengarkan kata-katanya. Ayahku? Penyegelan ini adalah hasil dari ayahku? Setiap kali mendengar tentang ayahku, hatiku selalu bergetar, penuh dengan kesedihan yang bercampur dengan kebingungan.

Phoenix melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, tapi tak kalah mengintimidasi. "Kau tidak tahu banyak, bukan? Ayahmu dan Paman Aidan, mereka menyimpan terlalu banyak rahasia darimu. Kau, bocah malang, dibiarkan bodoh seperti ini."

Aku mendesis, gigi-gigiku bergemeletuk menahan marah. "Kau bohong!" seruku tanpa bisa menahan emosi.

Phoenix hanya menggeleng pelan, seolah menganggap kata-kataku sebagai lelucon. "Benarkah? Kalau begitu, jawab aku. Mengapa kau belum pernah melihat naga? Bukankah meditasi ini seharusnya membawamu bertemu dengan seekor naga yang menunjukkan tipe energimu? Tapi kau malah melihat aku. Itu karena ayahmu tak ingin kau menguasai sihir sepenuhnya.”

Aku terdiam sejenak. Pikiranku kacau. Kata-kata Phoenix terasa menusuk, meski aku tak ingin mempercayainya. Benarkah selama ini ayahku sengaja menahan potensi sihirku? Mengapa dia melakukan itu?

Phoenix, melihat kebingunganku, semakin merendahkan suaranya, penuh tipu muslihat. "Aku tahu kau bingung. Tapi aku bisa membantumu. Ada cara lain... meski itu tidak gratis."

Aku mendongak, menatap matanya yang bersinar terang. "Apa itu? Katakan!" desakku, meski perasaanku masih bercampur aduk antara keinginan dan keraguan.

Phoenix melirik sebuah gembok besar yang tergantung di kurungan itu. "Buka gembok ini, Raka. Kuncinya ada di belakangmu."

Aku menoleh, dan entah bagaimana, sebuah kunci muncul begitu saja di belakangku. Kunci itu tampak biasa, seperti kunci pada umumnya. Tapi, ketika kulihat gembok raksasa di kurungan, aku ragu. Apakah ini jebakan? Namun, entah kenapa, kakiku bergerak dengan sendirinya. Aku meraih kunci itu, mendekati gembok. Setiap langkahku terasa berat, seolah aku sedang melangkah menuju takdir yang tak bisa kuhindari.

Saat jarakku semakin dekat dengan kurungan, aku terkejut melihat gembok dan kurungan itu menyusut, semakin kecil hingga kurungan itu seukuran sangkar burung di tanganku. Phoenix di dalamnya tampak kecil, namun tatapannya tetap menusuk.

"Masukkan kuncinya, Raka. Aku akan membantumu. Drona tak akan bisa memberikan yang kau butuhkan," suaranya membujuk, penuh keyakinan.

Askarayudha [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang