Prolog

5 2 0
                                    

Sring...

Suara hunusan pedang itu terdengar nyaring. Di hamparan tanah yang luas itu, terjadi peperangan untuk saling memperebutkan kekuasaan. Antara kerajaan Selatan dan Utara.

Ksatria berbadan tegap dan gagah itu berhasil menggugurkan prajurit musuh dengan pedang kesayangannya, itu membuatnya mengukir senyum miring.

"Prajurit lemah seperti dirimu, bukan tandinganku." Dia tertawa remeh pada jasad prajurit yang kepala dan badannya tak lagi menyatu.

Dialah Ksatria Killian Wilder, yang terkenal akan kekejamannya dalam melumpuhkan musuh, menyusun strategi penyerangan, dan juga menghunus pedang.

"Tuan Wilder, kita menang!" sorak salah satu anak buahnya.

"Kau belum menang!" Seorang Ksatria wanita berjalan menuju ke arah mereka. "Langkahi dulu mayatku."

Killian menatap wanita itu lalu tertawa lepas, "Aku tidak menyakiti wanita. Jadi, kau boleh lari menyelamatkan diri."

Wanita itu juga tertawa sinis dan remeh, "Apa kau takut?"

Killian menggertakkan giginya, tangannya terkepal kuat. "Siapa wanita sok berani ini?" tanyanya pada Dave, anak buahnya.

"Dia adalah Aveen Drake, ksatria wanita dari negeri Selatan. Dia yang dibicarakan orang-orang, Si Cantik Penuh Wibawa, tuan."

Killian menaikkan sebelah alisnya. "Oh, jadi dia Si Cantik Penuh Wibawa? Tidak salah, dia memang cantik." Killian tertawa kecil.

Aveen yang sedari tadi berdiri, memperhatikan Killian dan anak buahnya itu. "Sebaiknya kau menyerah, ini wilayah kami."

Killian kembali menatap Aveen, "Kau ingin bermain-main denganku? Kemarilah."

Aveen tanpa berpikir panjang, berlari kencang sambil mengangkat pedangnya. Killian dengan cepat menghindar, ia juga mulai memainkan pedangnya.

Terjadi peperangan sengit di antara mereka, mereka sama-sama kuat dan tak ingin mengalah. "Ternyata kau lumayan kuat." Killian mengangguk-anggukkan kepalanya.

Napas Aveen memburu, dia menghirup udara dengan kasar. Dia kembali melayangkan pedangnya.

Killian dengan sigap mengunci pergerakan Aveen sehingga pedangnya terlempar jauh. Dia mengangkat dagu wanita itu, memperhatikan wajahnya. Orang-orang tidak salah, Aveen memang cantik. Kecantikannya mutlak, hidung mancung, bibir merah, dan alisnya yang tegas, menambah wibawa wanita itu.

"Sia-sia jika aku membunuhmu di sini." Killian tanpa aba-aba, menggendong Aveen layaknya karung beras. Tentu saja Aveen memberontak.

"LEPASKAN AKU!" Aveen memukul punggung Killian, namun ia tak merasakan sakit sama sekali.

"Bekerja samalah, Aveen."

***

Saat manik coklat milik Aveen mulai mengerjap, sinar matahari masuk menyilaukan matanya. Ia terduduk, dan menatap sekelilingnya. "Dimana ini?" batinnya.

Suara pintu terbuka, membuat atensi Aveen teralih. Dia menatap seseorang dengan tubuh tegap itu, lalu menatapnya tajam. "Dimana ini?"

Killian tertawa pelan, "Tidak mungkin kau tidak tahu. Kira-kira, aku membawamu kemana?"

Aveen mengerutkan keningnya, lalu ia tiba-tiba tersadar akan sesuatu. "Ini-"

"Ya. Aku membawamu ke kediaman ku." Killian memotong perkataan Aveen.

Aveen lalu beranjak dan meraih kerah baju Killian, dia menatapnya tajam. "Beraninya kau membawaku ke tempatmu yang kotor!"

"Sudah kubilang, kau akan menyesal jika menantang ku." Killian tersenyum miring, lalu melepaskan cengkraman Aveen.

"Sekarang, aku tidak punya waktu. Jadi, jangan membuat kekacauan di sini. Karena ini bukan wilayahmu." Killian melangkah pergi dari sana.

Aveen terdiam dengan napas memburu, ia tidak mau berada di sini. Ia harus mencari jalan keluar, bagaimanapun caranya.

Aveen membuka laci satu persatu, berharap ada barang yang bisa ia gunakan untuk kabur. Dia tak menemukan apapun di sana. Lebih sialannya lagi, dia tak tahu di mana pedangnya berada.

"SIALAN!" teriaknya frustasi. Ia mencengkram rambutnya, menendang segala yang ada di depannya.

"Aku harus pergi dari sini." Aveen terus menggumamkan kalimat itu, namun dia tak tahu harus berbuat apa.

***

Di istana Kekaisaran, Killian kini menghadap sang Kaisar setelah pulang dari berperang.

Dia membungkuk tanda hormatnya pada sosok gagah yang sedang berdiri di depannya.

"Aku mengakui, kau memang hebat dalam berperang, Ksatria Killian." Suara berat itu bergema di aula besar itu.

"Terima kasih atas pujian anda,
Yang Mulia," sahut Killian.

"Oh ya. Kudengar, dari negeri selatan ada Si Cantik Penuh Wibawa. Apa kau membawanya?" Pertanyaan dari Kaisar itu membuat Killian mengerutkan keningnya.

"Ada apa gerangan Yang Mulia menanyakan hal itu?" tanya Killian. Matanya terlihat menajam namun tetap ramah.

"Aku berniat menjadikannya selir kerajaan." Perkataan itu sukses membuat para menteri yang berada di sana terkejut. Bagaimana bisa seorang Kaisar menjadikan rakyat negeri Selatan sebagai anggota kerajaan Utara?

"Maaf kalau saya lancang, Yang Mulia. Tapi, apakah anda bersedia memberi hamba hadiah atas kemenangan hamba?" Killian meletakkan tangannya di dada.

Kaisar tertawa kecil. "Aku lupa. Jadi, apa yang kau inginkan?" tanyanya.

Killian tersenyum miring lalu kemudian dia membungkuk. "Hamba ingin menikahi Aveen Drake, dari negeri Selatan." Para menteri terkejut bukan main setelah mendengar permintaan dari Killian.

Kaisar juga tampak tak kalah terkejut, "Apa maksudmu? Menikahinya?"

"Iya, Yang Mulia."

Kaisar mengepalkan tangannya, lalu ia menghela napas dalam-dalam. Dia tampak berpikir sejenak, "Baiklah, kau bisa menikahinya. Sesuai permintaanmu."

Killian membungkuk, sebagai bentuk penghormatannya pada Kaisar. "Terima kasih atas kemurahan hatinya, Yang Mulia."

Killian meninggalkan aula, dengan senyuman seolah kemenangannya akan datang.

"Sebentar lagi."

***




BERSAMBUNG...











Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang