"LDR" part 2

110 16 1
                                    

Baru dua jam sejak First pulang dari airport, dia sudah merasa sepi. Keheningan yang menyelubungi dirinya membuat hati terasa hampa. Bukannya pulang ke rumahnya sendiri, First malah memilih pergi ke rumah Khaotung yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari tempat tinggalnya.

Rumah Khaotung selalu menjadi tempat yang menenangkan bagi First. Dia sudah begitu terbiasa dengan suasana di sana, hingga setiap sudut ruangan terasa seperti rumah sendiri. Lagi pula, First adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu letak sendi kunci rumah Khaotung, kerana dia sering menginap di sana.

Setibanya di rumah Khaotung, First masuk dengan mudah, memutar kunci dan membuka pintu seperti sudah jadi kebiasaannya. Dia meletakkan tasnya di sofa dan menghela nafas panjang. Ruangan yang biasanya riuh dengan suara tawa dan canda mereka berdua, kini sunyi senyap.

Untuk mengusir rasa bosan, First membuka aplikasi Instagram di telefon pintarnya. Dia sekadar ingin melihat update tentang teman-temannya yang ikut bersama Khaotung ke Hongkong, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari rasa sepi ini.

Namun, apa yang dilihatnya malah membuatnya merasa kesal.

"Apaan ini..." gumam First, ketika melihat foto yang diposting oleh salah satu teman mereka. Di dalam foto itu, Perth duduk di sebelah Khaotung di dalam pesawat, senyum lebar di wajahnya, tampak sangat senang berada di samping Khaotung. Sebuah perasaan cemburu tiba-tiba menguasai hati First.

Bukan dia tidak tahu, Perth sudah lama menyukai Khaotung. Bahkan, First sering melihat bagaimana Perth melakukan hal-hal konyol hanya untuk mendapatkan secebis perhatian dari Khaotung. Meskipun dia tahu Khaotung hanya menganggap Perth sebagai teman, namun melihat Perth mengambil "tempatnya" di sisi Khaotung, meski hanya sekejap, tetap saja menimbulkan rasa tak enak di hati.

Tanpa bisa menahan diri, First segera menghantar beberapa pesan kepada Khaotung. Dia menulis beberapa kata, memastikan pesannya tidak terdengar terlalu khawatir, namun cukup untuk mengingatkan Khaotung bahwa dia selalu ada. "Jangan lupa jaga diri kamu, terr. Nanti cerita ya, tentang perjalanan kamu."

Setelah mengirim pesan, dia menutup telefonnya, menyadari bahwa Khaotung mungkin tidak akan bisa membalasnya sekarang karena sedang dalam perjalanan. Dia mendesah lagi, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut.

Setelahnya, First membaringkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu rumah Khaotung, membiarkan matanya terpejam sejenak. Namun, pikirannya masih berkecamuk, bayangan Perth duduk di sebelah Khaotung terus menghantui benaknya.

Meski hatinya sedikit terusik, dia tahu ini hanya sementara. Dia percaya pada Khaotung, pada hubungan mereka. Rasa cemburu yang muncul hanyalah tanda betapa dalamnya perasaannya terhadap Khaotung.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, First bangkit dari sofa dan mengumpulkan semangatnya. Dia tahu dia tidak bisa berlama-lama di sini. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan di kantor GMMTV. Dengan berat hati, dia meninggalkan rumah Khaotung, menutup pintu dengan perlahan sebelum melangkah pergi. Di dalam hatinya, dia berjanji akan segera menelepon Khaotung begitu dia tahu kekasihnya sudah sampai di Hongkong dengan selamat.

——————

"Aku sudah tibaaa. Badanku capek banget. Aku mau puk puk."

First tersenyum membaca pesan yang baru diterimanya dari Khaotung. Hatinya terasa hangat, seolah-olah kekasihnya itu sedang merengek manja di hadapannya. Melihat status "online" di bawah nama Khaotung, First segera meneleponnya, tidak ingin menunda-nunda lagi untuk mendengar suara orang yang sangat dirindukannya.

"Baby," panggil First lembut, suaranya penuh rasa sayang.

"Firrrrrr," sahut Khaotung dengan suara lemah, terdengar jelas keluhan dari ujung sana. Khaotung mulai merengek, mengeluh bahwa tulang punggungnya sakit dan badannya benar-benar lelah setelah perjalanan yang panjang.

First terkekeh, membayangkan bagaimana Khaotung pasti sedang mengerucutkan bibirnya sambil merengut. "Capek ya, sayang? Istirahatlah sebentar sebelum latihan lagi."

"Malam ini selepas latihan, Krist bilang akan membawa aku sama yang lain makan di restoran temannya. Kamu udah makan?" tanya Khaotung, mencoba mengalihkan pembicaraan dari rasa lelahnya.

"Belum, aku baru pulang dari kantor. Apa kam—" First mencoba menjawab, namun suaranya tiba-tiba terpotong oleh suara lain yang datang dari seberang sana.

"Phi Khaoo~~~~ ayo kita latihan berenggg," suara Perth terdengar jelas, memanggil Khaotung dengan nada yang ceria.

"Sebentar yaa, aku lagi call sama First," kata Khaotung, suaranya sedikit menurun, mungkin merasa bersalah karena harus mengakhiri panggilan lebih cepat.

First tersenyum, meskipun di dalam hatinya ada sedikit rasa cemburu yang muncul lagi. Tapi dia menahannya, tidak ingin membuat Khaotung merasa tidak enak. "Gapapa, Tung. Nanti kalau kamu sudah lapang, hubungi aku ya? Enjoy your day."

Mmmuuaahhh

Mereka saling bertukar ciuman virtual, sebuah ritual yang selalu mereka lakukan setiap kali berpisah. Setelah itu, Khaotung mematikan panggilan, bersiap untuk bergabung dengan Perth dan yang lain untuk latihan.

First menatap layar ponselnya yang kini gelap, senyumnya perlahan memudar. Meski rasa rindu semakin kuat, dia berusaha menenangkan hatinya.

"Nanti aku ganti puk puk mu ya.."

"Us" [FirstKhaotung] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang