Rumah tidak selamanya nyaman

22 7 1
                                    

Setelah kekacauan yang penuh sakit dan ketidakpercayaan itu, Aurora dan Elina mengantar Seana ke rumahnya. Mereka berdua berdiam dalam di rumah itu bersamaan dengan Seana. Tidak menyedihkan bagi Seana mengenai kejadian tadi. Namun, marah tentu merasukinya dikarenakan sebuah kata yang tidak pantas untuk diucapkan. Mengingat kejadian di SMANSA tadi, Seana teringat akan ucapan Elina kepada Atlandtis. Menyakiti Elina?

"Kenapa kamu bilang kalau dia juga nyakitin kamu?" tanya Seana akhirnya akan rasa keingintahuannya tentang masalah tadi. Kini pertanyaan yang terbenak di pikirnya tersampai setelah berpikir lama. Kian baik kah bertanya seperti itu?

"Se, lo tau kan dulu gue suka banget main basket sama kayak lo. Tapi, gue masuk ekskul basket dan lo enggak, karena kata lo waktu itu lo takut gak punya teman di basket." jawab Elina.

"Apa hubungannya sama Atlandtis?" sela Aurora kebingungan.

"Lo ga ingat apa? Atlandtis kan dulu anak basket." ketus Elina.

"Oh iya An, dulu Atlandtis suka banget main basket. Tapi, gatau kenapa sekarang udah enggak." sambung Aurora mengingat.

"Itu karena masalahnya sama gue." sahut Elina.

"kok lo? apa hebatnya lo sampe dia keluar dari basket karena lo?" protes Aurora tidak setuju dengan pernyataan Elina.

"Udah udah. Terus gimana?" tanya Seana menunggu kelanjutan cerita Elina.

"Awalnya gue minta ajari dribble sama baskara karena dia terkenal jago basket. Tapi, karena dia cuek banget, Atlandtis datang ngajarin gue. Dari situ gue dekat sama Atlandtis dan dia selalu antar jemput gue, bahkan sampai ngajak gue makan berdua. Lama kelamaan gue punya rasa dong buat Atlandtis, dan masalah dimulai sejak event basket." jelas Elina mulai bercerita.

"Lo cewek yang selalu bareng Atlandtis basket dulu?" tanya Aurora tidak percaya bahwa Elina perempuan yang sering bersama Atlandtis ketika bermain basket.

"Iya! gak percaya banget sih lo." bentak Elina dengan raut wajah kesal.

"Waktu itu ada event basket. SMANSA melawan SMANDA. Dan saat itu timnya gabung cewek sama cowok, gue satu tim bareng Atlandtis dan Baskara." beritahu Elina.

"Egoisnya. Ketika mulai pertandingan, Atlandtis tidak mau berbagi bola sekalipun sama gue. Padahal bola sering banget ditangan dia, apa salahnya kasih ke gue padahal gue sering banget kosong. Gue otomatis kesal dan main gue waktu itu benar--benar jelek banget. Kita hampir kalah Se, untungnya ada Baskara yang cepat ngejar bola dan ngeshootnya mulus banget." sambung Elina.

"Masalahnya mana?" sela Aurora yang tidak sabar mendengar kelanjutannya.

"Sabar anjing!" timpal Elina semakin kesal.

"Bisa gak jangan berantem dulu." tegur Seana.

"Iya maaf." ucap Aurora pelan.

"Terus Atlandtis marah-marah ke gue karena main gue gak bagus. Ya gue emang salah sih waktu itu. Tapi, kan gue kesal, gue juga gatau kenapa main gue gak bagus kali itu." ujar Elina dengan wajah cemberut, sungguh mengingat kejadian itu benar-benar tidak menyenangkan untuknya.

" Dan gak lama setelah kejadian itu, kita lanjut main lawan SMA lain. Dengan perasaan yang masih kesal, Atlandtis sengaja lempar bola ke arah gue. Lawan main yang lihat Atlandtis ngelakuin itu otomatis lari ke arah gue."

"Terus kaki orang itu senggol kaki gue sampe gue jatuh dengan kerasnya. Waktu itu gue berusaha berdiri dibantu Baskara. Tapi, gue tetap gabisa berdiri. Akhirnya gue keluar dari permainan itu dan dibawa ke rumah sakit."

"Pergelangan kaki gue retak Se" jelas Elina mengingat kejadian menyakitkan itu. Air matanya mulai menetas tanpa sadar.

"K.. kaki lo retak?" tanya Seana dan Aurora bersamaan yang terkejut mendengar cerita Elina.

ATLANDTIS (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang