BAB 8. CAT CARE 101

3 0 0
                                    

Ternyata, mengurus kucing susah!

Setelah membeli keranjang rio dan handuk, Luna berusaha memasukkan Momo ke dalam keranjang dengan dipandu video call dari Felix. Walau Momo tadi tampak jinak saat dipegang, ternyata dia takut dan menggeliat-geliatkan badannya ketika Luna berusaha mengangkatnya. Untungnya, setelah beberapa kali percobaan karena Momo terus meringkuk dan mendesis saat Luna mencoba memegangnya, akhirnya Luna berhasil menaruhnya ke dalam keranjang rio dengan aman tanpa terkena cakar atau gigitannya. Setelah berjuang memasukkan Momo ke dalam keranjang, Luna pun segera pulang.

Takut akan turun hujan lagi dan juga repot jika berjalan membawa-bawa kucing, akhirnya Luna pulang dengan menggunakan ojek daring. Agak ngeri-ngeri sedap juga naik motor dengan membawa keranjang berisi kucing, tapi Luna takut jika menggunakan mobil, malah akan ditolak oleh supirnya karena tidak semua mobil membolehkan membawa binatang. Untunglah Luna ternyata tidak tersesat jauh dan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai rumahnya.

Luna mengusap keringat yang mengucur di dahinya begitu masuk ke kamarnya. Ternyata perjuangan membawa Momo pulang bisa membuatnya berkeringat padahal cuaca masih hujan rintik-rintik. Luna kembali memencet nomor telepon Felix.

"Jadi, apa yang harus gue siapin lagi?" tanya Luna melalui panggilan video kepada Felix begitu panggilannya terhubung. Keranjang berisi Momo diletakannya di pojok kamar tidur.

Walaupun sedikit merasa bersalah karena sepertinya mensyukuri orang tuanya yang pergi, baru kali ini Luna sangat senang Papa dan Mama tidak ada di rumah selama beberapa hari. Papa memang sedang ada kunjungan bisnis ke kantor cabang di Manila, sedangkan Mama sedang ikut konferensi klinik kecantikan di Bangkok. Sesungguhnya, waktu di saat Papa dan Mama kebetulan berada di rumah bersama-sama sangatlah jarang. Biasanya, hanya ada salah satu dari mereka atau tidak ada keduanya. Setelah Kak Leon kuliah, di rumah ini sehari-hari hanya ada Luna dan Bi Ijah yang datang hanya di pagi sampai siang hari untuk mengurus rumah dan menyiapkan makanan.

"Lo harus beli kandang, alas pipis, tempat buang kotoran atau litter box, pasir gumpal, lalu jangan lupa makanannya juga. Eh, itu kucingnya dikeringin dulu supaya nggak masuk angin."

"Baru tau, kucing bisa masuk angin," ujar Luna setengah bercanda. Banyak hal baru yang diketahuinya dari Felix hari ini. Takut Momo sungguh-sungguh masuk angin, Luna bergegas mendekati keranjang rio dan mengintip kondisi Momo. Tampak Momo yang sibuk mencakar-cakar keranjang berusaha mencari jalan keluar.

"Kayaknya dia takut ada di dalam keranjang"

"Yaiyalah, tempat asing dan sempit. Pasti dia takut. Tapi lo juga kan belum ada tempatnya, jadi nggak bisa dilepas," balas Felix. "Lo ada kain atau handuk gitu? Tadi kan dia agak basah keujanan, bisa jadi alasnya udah basah juga. Sekarang lo ganti alasnya lagi baru nanti bisa lo tinggal buat cari perlengkapannya. Jangan lupa kasih mangkuk kecil isi air bersih buat minumnya. Mangkuk kecil yang muat di keranjangnya gitu, nggak usah gede-gede."

"Iya, tadi pas dibawa dia agak basah, sih. Oke, bentar gue cari handuk lain dulu." Luna meletakkan ponselnya di nakas lalu membuka lemari pakaiannya. Dicarinya handuk-handuk lama di tumpukan paling bawah. Sayangnya, Luna hanya menemukan satu handuk kecil.

Luna meraih ponselnya kembali dan berkata, "Gue nggak nemu handuk. Harus tanya sama Bi Ijah dulu. Gue telepon lagi nanti, ya."

Begitu Felix mengiyakan, Luna langsung mematikan telepon dan melemparnya sembarangan ke tempat tidur. Dengan sedikit terburu-buru, Luna berjalan ke luar kamar sembari berkata, "Momo, sabar dulu, ya. Kakak cari handuk buat kamu dulu."

Di luar kamar, Luna segera menuruni tangga dan sedikit berlari kecil ke arah dapur. Sore hari begini, biasanya Bi Ijah ada di dapur. Bi Ijah adalah pembantu di rumah Luna sejak Luna masih kecil. Walau matanya buta sebelah, Bi Ijah sangat cekatan dan gesit. Sebelumnya Bi Ijah memang biasanya tinggal bersama mereka di rumah ini. Saat Luna SMP, Bi Ijah meminta kepada Mama untuk diizinkan pulang hari dan tidak tinggal bersama mereka lagi karena Bi Ijah ingin berkumpul bersama keluarganya. Berhubung anak-anak sudah cukup besar dan mandiri, Mama akhirnya membiarkan Bi Ijah hanya datang ke rumah di siang hari saja.

"Bi Ijah! Biiii....," panggil Luna sambil terus berjalan ke arah dapur.

"Ya Non?" Terdengar sahutan dari Bi Ijah. Benar saja Bi Ijah ada di dapur. Begitu Luna memasuki dapur, tampak pemandangan Bi Ijah yang sedang sibuk memotong pepaya. Rupanya buah hari ini adalah papaya. Buah adalah makanan wajib di rumah Luna sesuai dengan perintah Mama.

"Bi Ijah ada kain bekas yang nggak kepake?" tanya Luna langsung tanpa pembukaan apapun. "Kalau nggak kain bekas, handuk yang udah lama juga bisa. Yang penting handuk atau kainnya nggak sobek-sobek. Oh, satu lagi, nggak ada yang cari kalau dipakai sama Luna."

Bi Ijah mengangkat wajahnya dari talenan dan menatap Luna dengan tatapan bingung. Untuk orang yang belum terbiasa, mungkin agak canggung untuk langsung menatap Bi Ijah karena mata kanannya normal tetapi mata kiri seluruhnya putih. Menurut Bi Ijah, dulu kedua matanya normal. Namun, gara-gara kecelakaan, mata kirinya terluka dan menjadi buta.

"Kain bekas atau handuk lama buat apaan, Non? Emangnya Non nggak ada handuk baru di lemari? Kemarin Bi Ijah baru cuci handuk Non, deh. Masa udah nggak ada?" Bi Ijah merepet bertanya pada Luna.

"Bukan buat aku, Bi. Buat Momo." Luna mencoba menjelaskan, yang malah membuat Bi Ijah tampak semakin kebingungan. Luna menepuk kepalanya dan baru sadar bahwa Bi Ijah tidak tahu Momo. Tadi memang Luna langsung melesat ke kamarnya begitu masuk ke rumah sehingga Bi Ijah tidak tahu Luna membawa pulang kucing.

Dengan sedikit ragu, Luna menjawab, "Momo itu nama kucing, Bi. Luna nemu di jalan lalu bawa pulang."

Mulut Bi Ijah langsung membulat sempurna. Mata kanannya pun ikut membulat kaget. "Bawa kucing? Non udah bilang sama Mama?"

Luna mengerang dalam hati. Ya, semua seharusnya atas izin Mama. Jika Mama tidak berkenan, tentu saja semua harus menuruti kehendaknya. "Err, sebenarnya belum. Nanti mau bilang kalau Mama udah nggak sibuk."

Bi Ijah yang sudah sangat maklum dengan dinamika di rumah itu, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala dengan sedikit heran saat mendengar penjelasan Luna. Biasanya, Luna tidak pernah melakukan sesuatu tanpa seizin Mama. Tumben sekali Luna tiba-tiba memungut dan membawa kucing pulang seperti ini.

"Yang harusnya butuh handuk itu Non Luna, bukan kucing. Itu baju masih basah begitu, eh bukannya ganti baju kering ini malah ngurusin kucingnya," tegur Bi Ijah halus sambil dengan kritis memerhatikan kondisi Luna yang masih mengenakan seragam yang agak basah terkena tampias hujan.

"Iya, ini mau ganti baju lalu keluar sebentar beli perlengkapan untuk kucingnya. Tapi, kucingnya kedinginan jadi butuh diselimutin dulu. Bi Ijah ada nggak kain atau handuk bekasnya?"

Tidak segera menjawab, Bi Ijah memasukkan buah yang sudah dipotong ke dalam wadah lalu membalikkan badannya untuk mencuci tangan di wastefel. Walau mengerti keinginan Luna yang matanya begitu berbinar-binar saat membicarakan Mumu atau Mami atau siapalah nama kucingnya itu, Bi Ijah diam-diam juga khawatir kalau Nyonya Amelia Danantya yang terhormat bisa ngamuk-ngamuk dan membuang kucing itu begitu saja.

"Non yakin boleh sama Mama piara kucing?" tanya Bi Ijah begitu selesai mencuci tangan dan kembali menghadap Luna. Terbersit keraguan di wajah Luna, membuat Bi Ijah semakin khawatir dan juga sedih. Bi Ijah sudah membantu merawat Luna sejak kecil. Bi Ijah tahu betul betapa Luna selalu berusaha patuh dan memendam keinginannya sendiri supaya orang tuanya senang.

"Belum yakin, sih. Tapi ada teman Luna yang bersedia menampung kalau misalnya ternyata nggak dibolehin Mama." Luna menjawab dengan sedikit berat. Semoga saja Mama mengizinkannya merawat Momo.

"Bi Ijah jangan bilang ke Mama dulu sampai nanti Mama pulang, ya?" pinta Luna dengan raut wajah memohon, membuat Bi Ijah semakin tidak tega menolaknya.

"Iya, Bi Ijah diem aja. Nanti Non Luna yang bilang, ya." Ucapan Bi Ijah sontak membuat wajah Luna berseri.

Luna langsung berlari kecil ke arah Bi Ijah dan memeluknya. "Terima kasih, Bi!"

Sembari tertawa, Bi Ijah mengusap kepala Luna dan berkata, "Iya iya. Sekarang, Non ganti baju dulu. Nanti Bi Ijah bawain handuk bekasnya ke kamar Non."

"Oke!" jawab Luna sumringah. "Oh, butuh mangkuk plastik kecil juga buat tempat minum."

Bi Ijah langsung membuka lemari dapur dan mengeluarkan mangkuk kecil yang agak lusuh. "Pakai yang ini aja. Udah sana buruan ganti baju."

"Siaaaap!" Luna pura-pura menghormat lalu segera berlari kecil menuju kamarnya lagi. 

Purrfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang