Kuasa untuk diam selalu menjadi pilihan utama saat perasaan itu berkecamuk mendebarkan. Menyiksa napas yang ingin biasa-biasa saja, terlihat kepanasan padahal hati sudah tak tahan lagi untuk lebih dekat. Hidup, sangat kejam. Hidup, juga sering bercanda dalam hal yang melelahkan. Dia sadar, manusia mana yang akan meliriknya penuh dengan tatapan indah jika dia mengungkapkan perasaan ini⎼tak wajar, di saat wanita yang dia sukai selalu merapikan rambut ke belakang telinga ketika melihat lelaki yang ditaksir.
Jika diingat kembali. Tak tau berapa kali dia merasakan semua perasaan itu. Rasanya: Senang, bahagia, dan penuh dengan elusan lembut di tengah dada. Jika goresan cinta bisa dihapus dengan mudah, tentu dia bersihkan semua perasaan itu dari dulu. Dari sejak pertama perasaan itu muncul. Saat dia tiba-tiba mendengar gelak tawa wanita yang berlari di lapangan sekolah di jam delapan pagi. Padahal kalian tau? Dia tak mungkin mendengar tawa itu. Dia di lantai lima, sedang duduk mendengar guru bercerita tentang cinta pertamanya.
Waktu itu, saat dia tersenyum sindir mendengar gurunya berkata, 'Padahal dia tidak terlalu cantik, tapi saat Bapak melihatnya tersenyum untuk pertama kali, dia mengambil seluruh hati Bapak.' Pikirnya, itu mustahil. Pikirnya, itu tak mungkin terjadi tanpa alasan. Sungguh, dia berpikir, ada-ada saja Bapak ini, mana mungkin hanya melihat seperti itu bisa jatuh cinta. Hingga saat dia menyibak tirai kuning jendela kaca, matanya seketika terpaku melihat wanita yang sedang berlari sambil tertawa mengenakan baju seragam berbeda, bersamaan, perasaan itu muncul, tawa itu terdengar indah di telinganya. Sungguh, perasaan suka itu benar-benar muncul tanpa aba-aba.
Waktu itu, langit biru cerah. Tanpa awan, tanpa matahari yang menyengat. Namun, tubuhnya terasa hangat, dadanya riang, matanya hampir takut berkedip, bibir tak tersenyum.
Menatap sepuluh detik, menyakiti hatinya seumur hidup.
Merasakan cinta, ternyata tak semenyenangkan itu.
Dia tersiksa karena tak pernah bisa merasakan cinta yang sebenarnya. Dia memaksa untuk bisa melupakan, tapi ternyata, perasaan sangat susah dihilangkan. Saat itu dia berpikir, andai saja cinta hanyalah kata, mungkin itu akan lebih mudah.
Tapi ternyata, cinta melibatkan semua diriku, hatiku dan pikiranku.
Dia, hidup di hatiku. Padahal aku sudah melangkah lebih jauh. Menghindar agar tak akan menyiksa diriku lebih jauh.
Selama dua tahun sekolah itu, dia tak bisa menolak lagi perasaan yang menyayat lebih dalam. Akhirnya, saat akhir tahun sebelum wisuda, ketika dia tau mereka akan berpisah, saat itu dia berkata di tengah tangga menuju lantai lima, di depan wanita yang dia sukai dari dulu. Suaranya gegabah dan terdengar buru-buru, "Aku menyukaimu. Aku menyukaimu dari dulu. Dari saat kamu pindah ke sekolah ini, dua tahun yang lalu. Aku sangat menyukaimu, Kath."
Penolakan seharusnya menjadi hal yang akan mudah diterima. Sebab, sebentar lagi mereka akan berpisah. Dia akan pulang ke desanya, membantu Ibunya yang sudah tua. Seharusnya, penolakan tak akan menjadi masalah. Yang penting, sudah dikatakan.
Namun, detak jantung itu seketika berdebar lebih kuat, perasaan takut merambat di sekitar punggungnya. Suara langkah kaki, mungkin tiga orang? Menaiki tangga. Tawa-tawa lucu yang tak enak didengar membuat dirinya hampir susah bernapas.
Tiga teman Kath mendengar semuanya. Menatapnya dengan menjijikkan setelah dengusan napas yang penuh remeh. Lalu, laki-laki dengan rambut tipis di kiri dan kanan kepalanya berkata dengan wajah datar, "Jadi ini yang kamu ceritakan, Kath? Dia yang selalu meneleponmu tanpa berkata satu kata pun?"
Deg. Sungguh, dia susah bernapas. Inginnya, dia kabur dan pergi dari sekolah itu detik itu juga. Namun, kakinya tak bisa bergerak. Takut dikatakan lesbian membuatnya tak bisa berkutik dari pijakan yang membeku. Saat itu, perasaan menyesal sudah mengatakan rasa suka menggerogoti pikirannya. Jika bisa memutar waktu, dia ingin menelan semua kata itu, untuk selamanya. Tak perlu diungkapkan, tak perlu dikatakan, tak perlu dia tau. Namun...
Apa yang harus aku lakukan?
Dengan satu langkah yang dipaksakan, dia berbalik dengan susah payah. Melangkah menaiki anak tangga dengan perasaan menyesal tiada tara.
Saat itu, dia pikir dia menjadi candaan semua orang. Menjadi olokan dalam cerita remaja yang mempunyai perasaan yang menyimpang.
Dia pikir, semua orang akan mengetahui perasaan yang dia miliki.
Namun, sampai sekarang, tak ada yang desas-desus tentang, Lin menyukai wanita, Lin menyukai Kath, Lin seorang lesbian. Tak ada.
Tapi, tak ada bukan berarti semua baik-baik saja. Lin, dia selalu bermimpi buruk tentang semua ini. Kasarnya, dia dibully oleh tekanan batinnya sendiri setiap malam, setiap tidurnya.
/Seperti sekarang/
Hentak napas, mata terbuka, perasaan kalut mengairi seluruh kulitnya. Lin memejamkan matanya lagi setelah tau bahwa semua hanyalah bunga tidur yang busuk. Dadanya mengikuti kegelisahannya. Dirinya tertegun, alisnya mengernyit, seketika dia menangis di malam yang gelap dan sunyi.
Tak ada yang bertanya tentang kesedihan dan ketakutan yang memberatkan. Tak ada yang peduli, sebab dia tak pernah berkata pada siapa pun tentang apa yang dia rasa. Semua yang dia alami, dia peluk sendiri.
Setiap malam, dia tak pernah berhenti menyesal sudah mengungkapkan perasaan.
Setiap malam, di antara rasa itu, dia selalu berkata...
'Seharusnya, aku diam saja. Kath, tak perlu tau tentang apa yang aku rasakan... Seharusnya aku diam saja sampai perasaan ini hilang sendiri.'
'Seharusnya begitu.'
'Jadi, aku tak perlu kepikiran sampai hari ini.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep It or Break It
Fanfiction"Kath mengancamku?" - Lin -On going di Karyakarsa _________________________________ ⚠️ Cerita ini hanyalah fiksi belaka.