Sekuel

182 25 1
                                    

Terpisah meja kayu jati yang memantulkan kerlip cahaya, Yunho dan Mingi duduk berseberangan.

Kehadiran kehangatan yang biasanya mengisi ruangan itu seakan tertelan keheningan yang merambat pelan, seperti semut yang menggerogoti tepian roti. Mingi menatap Yunho dengan mata penuh pertimbangan, sementara Yunho membalas tatapan itu dengan pendangan yang tidak kalah gigih.

“Yunho,” suara Mingi pecah, serak, menyimpan berat dari pikiran-pikiran yang tak tersuarakan sebelumnya. “Kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa mengadopsi anak yang lebih besar akan mempermudah kita dalam banyak hal. Anak itu sudah mengerti, dia tahu posisinya di dunia ini. Tidak perlu lagi kita bingung bagaimana nanti harus memberi tahu dia bahwa dia bukan anak kandung kita.”

Yunho menarik napas panjang, seakan ingin menelan segala keraguan yang Mingi lontarkan. “Apa kau lupa? Anak adalah berkah. Kita mengadopsi bayi, kita bisa merasakan semua momen-momen pertama—langkah pertama, kata pertama. Bayi itu akan tumbuh dengan kita, merasa bahwa kita adalah satu-satunya orang tua yang dia kenal.”

Mingi menggeleng pelan, tangannya menyusuri tepian meja yang dingin, mencari pegangan di tengah arus pikirannya yang deras. “Tapi tidak semua anak bisa mengerti atau menerima kenyataan bahwa dia diadopsi. Kalau kita bisa menghindari kebingungan itu sejak awal, I don’t see why not? Anak yang lebih besar mungkin sudah berdamai dengan kenyataan itu, or at least, bisa menghadapinya dengan lebih baik.”

Namun Yunho tak surut, pandangannya mengimplikasi keyakinan mendalam. “Kau tidak bisa hanya memikirkan apa yang mudah, Mingi. Orang tua harus siap menghadapi semua tantangan, termasuk yang mungkin menyakitkan. Merawat bayi sejak awal memberimu kesempatan untuk membangun ikatan kuat, tanpa harus memikirkan apa yang terjadi di masa lalu.”

Keduanya terdiam lagi, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka seperti kain tipis yang berkibar di tengah angin. Masing-masing tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri, mencari titik di tengah kegelapan yang menyelimuti keputusan mereka.

Mingi mendesah, berat seperti beban tak kasat mata menindih dadanya. “Aku hanya khawatir, Yunho. Kalau nanti anak itu tahu dia diadopsi, bagaimana kita menjelaskan semuanya tanpa merusak kepercayaannya pada kita?”

Yunho mencondongkan tubuhnya ke depan, meraih tangan Mingi dengan lembut, tapi kukuh. “Kita tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang. Kita membangun kepercayaan dengan kasih sayang, dengan waktu yang kita habiskan bersama. Kalau suatu hari nanti kenyataan itu terungkap, kita akan menghadapinya bersama, dengan perasaan penuh kasih sayang. Itu yang terpenting, bukan bagaimana dia tahu.”

Namun Mingi tetap tidak bisa menghapus kekhawatiran yang menoreh di relung hatinya. “Dan kalau dia merasa dikhianati? Jika semua cinta yang kita berikan justru dianggap palsu karena dia merasa kita menyembunyikan kebenaran darinya?”

Memejamkan mata sejenak, Yunho menarik napas dalam-dalam seakan berusaha mengumpulkan seluruh kesabaran di dunia ini. “Itu risiko yang kita ambil, Mingi. Tidak ada jaminan dalam hidup ini.”

Ketegangan menggantung di udara, tak terpecahkan, seperti balon yang tak kunjung meledak. Mereka tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa. Masing-masing memendam keyakinan mereka sendiri, dengan harapan bahwa waktu akan membawa mereka pada titik temu, sebuah jalan tengah yang bisa diterima keduanya.

Namun untuk saat ini perdebatan itu tetap belum selesai, membiarkan aingin sore membawa aroma hujan yang belum turun, membisikkan kata-kata tak terucap ke dalam jiwa mereka yang berusaha menemukan jawaban.

Hingga suasana rumah mereka, yang biasanya dipenuhi dengan kehangatan dan tawa, kini terasa sepi, hampa seperti bangunan tua yang ditinggalkan penghuni. Yunho dan Mingi, dua jiwa yang biasanya menyatu dalam harmoni, kini seperti dua kapal terombang-ambing di lautan berbeda, terpisah ombak emosi tak terucapkan.

Bunny Maid Service 🐰 YunGi [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang