Prolog

4.1K 156 2
                                        

Prolog

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

PRIA itu, yang disebut sebagai ayahnya, berdiri dengan tubuh tegap, menjajarkan dirinya sejajar dengan tubuh gadis remaja dihadapannya. Matanya menatap tajam, penuh kebencian yang terpendam begitu dalam. “Kamu tahu? Rasa sakit akibat pukulan ini, tidak sesakit rasa kehilangan yang saya rasakan—kehilangan orang yang saya sayang. Semua yang saya cintai, semuanya pergi meninggalkan saya, dan semuanya itu karena kamu,” bisiknya dengan suara yang terbelah, seperti menggigit kata-katanya sendiri, mengulang kembali perkataan yang sama seperti beberapa menit yang lalu.

“Maaf,” kata gadis itu dengan suara yang hampir tak terdengar, seperti bisikan yang tertelan kesunyian. Ia menundukkan kepalanya, dan meremas sisi kaos yang ia kenakan dengan begitu kuat, seakan itu bisa mengendalikan rasa sakit yang mulai merasuki seluruh tubuhnya. Matanya yang sudah berkabut tanda air mata yang hampir meleleh, ia sekuat tenaga berusaha menahannya. Ia tak ingin dianggap lemah, terutama oleh pria yang telah memberinya kehidupan yang penuh derita ini—Ayahnya.

Namun, seolah tak peduli dengan isakannya, pria itu semakin tak terkendali. Tangan kekar yang penuh kekuasaan itu menjangkau leher gadis iti, mencekiknya dengan kuat. “Maaf? Maaf kamu nggak berguna sama sekali! Maaf kamu nggak bisa mengembalikan mereka yang telah pergi! Saya benci kamu! Selamanya!” teriaknya dengan penuh amarah. Tanpa ampun, ia menendang tulang kering anak gadisnya itu, meninggalkan jejak rasa sakit yang tak terhapuskan. Lalu ia berbalik pergi, meninggalkan gadis malang yang tergeletak tak berdaya, tanpa sedikit pun belas kasih. Tak ada kata-kata penolong, hanya kepergian yang menghantui.

Gadis itu meringis, tangannya tak henti mengusap air matanya yang jatuh begitu kasar, berusaha menghapus setiap tetes kesedihan yang muncul dari dalam dirinya. Ia benci dirinya yang begitu lemah, yang tak bisa berbuat apa-apa. Semua kekuatan yang dulu ia miliki, kini terasa begitu rapuh, hancur hanya dalam sekejap. Tubuhnya terasa begitu berat, seolah-olah setiap inci daging yang menyelimuti tulangnya menanggung beban yang terlalu besar. Ia merebahkan tubuhnya di atas lantai yang dingin, tak lagi mampu duduk atau sekedar berdiri. Rasa sakit fisik yang mendera tubuhnya seakan tak sebanding dengan luka batin yang lebih dalam─terukir di setiap sudut hati yang hancur. Gadis itu yang dulunya ceria, kini hanyalah sebuah topeng yang rusak.

Terlentang begitu saja di ruangan yang sunyi, gadis itu terbaring lemah, tanpa ada seorang pun yang peduli atau berniat menolongnya. Ia terdiam, seolah dunia ini telah meninggalkannya, terjebak dalam kesendirian yang tak terkatakan.

Gadis itu memejamkan matanya perlahan, mencoba melupakan segala perasaan sakit yang menghantui. Ia tersenyum, walaupun senyum itu terasa begitu kosong. Ia lelah. Terlalu lelah untuk melawan, terlalu lelah untuk menangis. Ia hanya ingin sejenak berhenti, menenangkan diri dari semuanya. Namun, walaupun tubuhnya terkulai lemah, pikirannya tak berhenti berputar, mengingat semua kata-kata menyakitkan yang baru saja terucap dari bibir ayahnya. Ayahnya, yang kini lebih menjadi musuh daripada orang yang seharusnya melindunginya.

Namun, meskipun tubuhnya terkapar, tak ada yang tahu bahwa dalam benaknya, gadis itu masih berjuang. Masih ada secercah harapan yang menyala dalam kegelapan itu.

Beberapa waktu berlalu, dan perlahan ia merasakan kehangatan yang menyentuh kulitnya, seperti sentuhan lembut sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai. Cahaya itu begitu mengganggu tidurnya, merasuk ke dalam mimpinya, mengusik ketenangannya. Dengan sedikit kesulitan, gadis itu membuka matanya perlahan. Dunia di sekitarnya mulai terlihat kabur, namun saat penglihatannya mulai menajam, ia terkejut. Ia tak lagi berada di tempat yang sama.

Ruangan yang ia lihat kini berwarna putih, bersih, dan teratur. Bau antiseptik yang kuat memenuhi udara, membangkitkan rasa bingung dalam dirinya. “Gue ... Di mana?” pikirnya dengan kebingungan yang mendalam. Ia melirik sekeliling, merasa ada yang tak beres. Bagaimana bisa ia berada di sini? Bukankah ia sebelumnya terkapar di lantai yang dingin, terluka dan tak berdaya?

Ia mencoba bergerak, namun rasa sakit yang mengalir di tubuhnya membuatnya meringis. Tubuhnya terasa begitu lemas, seperti baru saja dibebani dengan beban yang tak terhingga. Ia melihat sekeliling dan perlahan menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Tapi siapa yang membawanya ke sini? Siapa yang peduli cukup untuk membawanya keluar dari tempat itu? Pembantu rumah? Tidak, itu mustahil. Tak ada yang peduli padanya. Apalagi ayahnya, yang jelas tak akan melakukan sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Jadi, siapa?

Secara tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar, menghancurkan sejenak kekosongan pikirannya.

"Astaga sayangku, bentar ya manggil dokternya dulu!"

Suara itu datang dari seseorang yang tak ia kenal, penuh kecemasan, namun terdengar begitu asing di telinganya. Siapa sosok ini? Kenapa ia terdengar begitu peduli padanya? Bagaimana bisa gadis itu terbangun di rumah sakit tanpa ingat siapa yang membawanya ke sana?

Kebingungan itu semakin dalam. Namun, tak ada jalan lain selain mengikuti setiap langkah yang tak terduga ini. Gadis itu harus mencari tahu, menemukan kebenaran di balik semuanya. Siapa yang membawanya ke sini? Dan yang lebih penting lagi, kenapa ia bisa terbangun di tempat ini?

***

Cool Girl TransmigrasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang