Li Wei perlahan terjaga dari kegelapan yang membelenggu kesadarannya, seakan dunia tempat ia berada adalah serpihan mimpi yang enggan kembali ke kenyataan. Matanya terbuka sedikit demi sedikit, disambut oleh remang-remang cahaya yang menari di dinding kayu di sekelilingnya. Setiap helaan napas membawa aroma tanah lembab dan kayu lapuk, menegaskan bahwa tempat ini sudah lama ditinggalkan, namun tetap bertahan melawan perjalanan waktu.
Ia berada di dalam sebuah gubuk kayu tua, dinding-dindingnya terbuat dari kayu kasar yang sudah lama kehilangan kehangatan aslinya, dipenuhi oleh retakan yang seperti urat-urat kehidupan, bercerita tentang waktu yang terus berlalu tanpa ampun. Lentera minyak kecil tergantung di sudut ruangan, cahayanya berkelap-kelip seolah berusaha keras melawan kegelapan yang menunggu di setiap sudut. Bayangan-bayangan yang tercipta dari cahaya itu bergerak pelan, hampir seperti roh-roh yang bersembunyi di balik kayu-kayu tua.
Langit-langit rendah di atasnya dipenuhi balok-balok kayu yang kasar, beberapa di antaranya sudah mulai lapuk, berderit pelan ketika angin dari luar menyusup melalui celah-celah sempit di antara papan-papan dinding. Lantai di bawah tubuh Li Wei terbuat dari papan kayu yang dingin, dengan lapisan jerami yang sudah kusam, memberikan sedikit kenyamanan namun tidak cukup untuk mengusir rasa dingin yang menancap di tulangnya.
Ruangan itu tidak memiliki banyak perabotan; hanya ada sebuah meja kecil yang nyaris roboh dengan beberapa kursi tua yang tampak seolah-olah mereka telah menyaksikan generasi demi generasi manusia datang dan pergi. Di sudut lain, sebuah lemari kayu terbuka sedikit, memperlihatkan kain-kain lusuh yang tersimpan dengan rapi, seolah-olah benda-benda itu adalah sisa-sisa kehidupan yang pernah ada di tempat ini.
Li Wei mengerjap, mencoba membebaskan dirinya dari selubung kabut yang masih menyelimuti pikirannya. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di benaknya, namun tidak ada jawaban yang muncul. "Di mana aku...?" pikirnya dengan bingung. Suara pikirannya tenggelam dalam keheningan yang nyaris sakral, membuatnya merasa seolah-olah dunia luar telah lenyap, hanya meninggalkan dirinya dalam kesendirian yang menyesakkan.
Seiring benaknya yang perlahan mulai jernih, Li Wei merasakan sesuatu yang aneh. Bahunya, yang seharusnya masih berdenyut-denyut dengan rasa sakit akibat cakaran makhluk itu, kini terasa seolah-olah tak pernah terluka. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh pundaknya, dan menemukan bahwa luka yang sebelumnya menganga kini tertutup, bahkan darah yang mengalir telah mengering tanpa meninggalkan bekas. Keterkejutan memenuhi dirinya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Namun, sebelum Li Wei sempat memikirkan lebih jauh, langkah kaki terdengar dari balik pintu gubuk yang reyot. Pintu itu terbuka dengan pelan, dan masuklah seorang pria tua dengan punggung sedikit bungkuk, membawa nampan berisi sebuah gelas yang masih mengepulkan uap hangat. Pria itu tampak seolah-olah dia adalah bagian dari gubuk itu sendiri—kulitnya yang keriput hampir sewarna dengan kayu dinding, dan pakaian yang dikenakannya tampak seperti kain usang yang telah lama menyatu dengan tubuhnya.
Mata pria tua itu tajam dan penuh dengan kebijaksanaan, seolah-olah ia telah melihat segala sesuatu yang dunia ini tawarkan dan lebih. Rambut putihnya yang tipis menutupi sebagian dahinya, dan janggutnya yang panjang menjuntai hingga ke dada, memberikan kesan bahwa ia adalah seseorang yang telah melalui banyak musim kehidupan.
Pria tua itu mengucapkan beberapa kata dengan suara lembut, namun bahasa yang keluar dari mulutnya asing bagi Li Wei. Suara-suara itu terdengar aneh, melodi yang tidak dikenalnya, seolah-olah berasal dari tempat yang jauh dari pemahaman manusia. Li Wei mencoba menangkap artinya, namun hanya kebingungan yang menyelimuti pikirannya. Pria itu tersenyum, seolah memahami kebingungan yang terpancar dari wajah Li Wei, lalu ia mengulurkan gelas panas itu ke arah Li Wei.
Li Wei memandang gelas di tangannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan kebingungan, seperti seorang pelancong yang baru tiba di negeri yang tidak dikenalnya. Wangi rempah-rempah hangat dari cairan yang berkilauan di dalam gelas itu mengalir lembut, menciptakan aroma yang menenangkan, bagaikan sebuah pelukan lembut yang menawarkan kehangatan di tengah dingin yang meresap hingga ke tulang.
Dengan tangan yang masih bergetar, ia menerima gelas tersebut. Panas dari cairan di dalamnya menyusup lembut melalui kulitnya yang membeku, mengalir seperti aliran sungai yang hangat di tengah musim dingin. Setiap tegukan dari gelas itu membawa aliran kehangatan yang menyapu tenggorokannya, meredakan kepenatan dan luka-luka batinnya seolah es yang mencair di bawah sinar matahari lembut. Rasa sakit dan kelelahan yang menjeratnya perlahan-lahan melepaskan cengkeramannya, memberikan ruang bagi ketenangan yang memeluknya dengan lembut.
Sementara itu, pria tua yang berdiri di dekatnya menatap dengan mata penuh makna dan perhatian, seolah-olah setiap gerak-geriknya disertai dengan pengetahuan yang lebih dalam dari yang dapat dijelaskan dengan kata-kata. Meski bahasa yang diucapkannya adalah misteri yang tidak bisa dijangkau oleh Li Wei, nada suaranya penuh dengan kehangatan dan kepedulian yang menenangkan, seperti sebuah nyanyian kuno yang berbicara langsung kepada jiwa.
Li Wei berusaha membuka mulut, mencoba untuk mengungkapkan kekacauan pikirannya, tetapi suara yang keluar hanya samar dan terputus-putus. Ia merasakan jurang pemisah yang dalam antara dirinya dan pria tua itu—jurang yang melampaui sekadar perbedaan bahasa. Namun, di tengah keheningan tersebut, pria tua itu mengulurkan tangan, menyentuh bahu Li Wei dengan kelembutan yang penuh arti. Sentuhan itu mengandung pesan sederhana namun mendalam: ketenangan akan datang dengan waktu, dan setiap langkah adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Omnipotent Manuscript
FantasiDi batas-batas alam semesta, di mana bintang-bintang bersinar dengan cahaya misterius, seorang pemuda bernama Li Wei mengalami nasib tragis yang membawanya ke dunia baru, Aetheris. Dunia ini tidak seperti yang pernah ia kenal-sebuah alam di mana set...