Malam semakin larut, namun langkah kaki Chika tak pernah goyah. Ia berdiri di depan rumah besar itu, mengamati lampu-lampu yang masih menyala dari jendela di lantai dua. Ada sesuatu yang menggerakkan dirinya, bukan hanya rasa ingin tahu, tapi hasrat yang jauh lebih dalam—obsesi yang mengakar kuat.
Chika tahu ini gila, tapi pikirannya terus memutar ulang momen-momen ketika Aran tersenyum, tatapan hangatnya saat mereka mengobrol, dan bagaimana dia selalu berhasil memikat Chika dengan kesederhanaannya. Namun, di balik senyum itu, Chika merasa ada sesuatu yang Aran sembunyikan. Ada misteri, ada kebohongan, dan itulah yang membuat Chika semakin terobsesi.
Di balik layar persahabatan mereka yang terlihat hangat, ada dinamika tersembunyi yang lebih kompleks. Chika tidak hanya mengagumi Aran, tapi juga merasa ada ikatan aneh yang menariknya lebih dalam. Namun, obsesi Chika bukan sekadar cinta, melainkan kebutuhan untuk mengendalikan, mengetahui, dan memiliki setiap aspek kehidupan Aran.
“Aku yakin dia belum pulang,” gumam Chika pelan, jari-jarinya memainkan ponselnya, mencoba menahan diri untuk tidak menghubungi Aran. Tapi pikirannya terus berputar; dia perlu tahu apa yang sedang dilakukan Aran, siapa yang dia temui, dan yang paling penting, apa yang dia sembunyikan.
Sementara itu, di sisi lain kota, Aran menjalani malam yang tampak biasa. Namun, ada bayangan di benaknya tentang bagaimana Chika selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya. Aran merasakan kehadiran Chika yang semakin menekan, meski ia berusaha mengabaikan firasat itu.
“Apa kamu pernah ngerasa seperti kayak lagi diawasi, Al?” tanya Aran pada sahabatnya sambil menyeruput kopi di kedai favorit mereka.
Aldo tertawa kecil, “Mungkin kamu cuma overthinking, Ran. Tapi kalau ada yang bikin nggak nyaman, ngomong aja.”
Aran terdiam. Dia tahu Aldo benar, tapi ada bagian dalam dirinya yang tahu bahwa ini bukan hanya khayalan. Chika semakin sulit diprediksi, dan perasaan itu perlahan-lahan berubah dari sekadar keintiman menjadi rasa terancam.
Obsesi Chika terhadap Aran semakin nyata. Dia mulai menelusuri jejak digital Aran—akun media sosial, pesan yang pernah dikirim, bahkan riwayat panggilannya. Tidak ada hal yang terlalu kecil untuk dilewatkan. Semakin dia menggali, semakin dia merasa dekat, meski dalam jarak yang sebenarnya makin menjauh.
“Chika, kamu serius mau stalking dia segitunya?” tanya Fiony, sahabat Chika yang satu-satunya tahu sejauh apa Chika bisa bertindak.
“Ini bukan stalking, Fi. Aku cuma nggak mau dibohongi. Aku harus tahu semuanya tentang dia,” jawab Chika dengan nada datar namun sarat intensitas.
Di tengah kegilaannya, Chika mulai membangun narasi di kepalanya—tentang siapa sebenarnya Aran, dan bagaimana caranya menguasai ruang pikir dan hidup Aran sepenuhnya. Obsesi ini bukan sekadar tentang cinta lagi, tapi tentang kekuasaan atas seseorang yang dianggapnya sebagai milik pribadi.
Chika bertanya, “Fi, kamu pernah nggak ngerasa kalau ada orang yang seharusnya milik kamu, tapi dia malah ngelirik orang lain? Kayak... ada yang mau ngambil sesuatu yang jelas-jelas hak kamu?”
Fiony tersenyum ragu. “Maksud kamu apa? Kalau ada orang yang suka, ya tinggal bilang aja. Simpel kan?”
Chika tertawa kecil. “Simpel, ya? Nggak segampang itu. Kadang, untuk dapetin apa yang kamu mau, kamu harus ngehilangin dulu penghalangnya.”
Chika mendapati bahwa Aran sering berkomunikasi dengan Fiony, yang membuatnya cemburu dan marah. Chika mulai melakukan sabotase—menghancurkan komunikasi antara Aran dan Fiony, serta menyebarkan desas-desus yang merusak reputasi Fiony. Obsesi Chika mulai menguasai hidupnya, dan Aran mulai curiga bahwa Chika ada di balik semua masalah yang dia alami.
![](https://img.wattpad.com/cover/375278858-288-k50193.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot (Chikara)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA Terima kasih. Semuanya tentang mereka berdua.