Raka memandangi bayangan diri yang dipantulkan kerut halus mulai menghiasi keningnya. Jari-jarinya mengusap pelipis yang kasar, seakan menekan beban dari pertanyaan yang terus menggelayut dalam pikiran.
Keringat tipis membasahi kemejanya, menyisakan aroma asam yang samar tercium saat ia mendekatkan diri pada pantulan itu. Suara-suara yang seakan bergema dalam kepala, serupa dentuman drum tak berkesudahan, menghantui setiap langkah hidupnya.
Di sudut ruangan sempit berbau tembakau, lampu kuning pudar bergantung rendah, memancarkan cahaya redup yang menggoyang bayangan pada dinding berwarna cokelat tua.
Aroma alkohol yang pekat bercampur asap rokok menyesaki udara, meninggalkan rasa tebal dan lengket pada tenggorokan setiap kali ia menghirupnya. Gelas bourbon di tangannya terasa hangat, cairan kuning keemasan di dalamnya memercikkan rasa pahit yang menempel di bibir.
Brosur lusuh di meja memanggilnya, dengan warna-warna cerah yang bertolak belakang dari suasana muram di sekelilingnya. Jari-jari Raka merasakan tekstur kasar kertas itu, mengusap huruf-huruf yang seakan mengisyaratkan jawaban dari kegelisahannya. Saat ponsel berdering, suara tajamnya seperti bel di tengah sunyi, memberi ruang bagi harapan samar yang perlahan merayap di balik keputusasaan.
Beberapa hari kemudian di kafe beraroma kopi, dinding kayu berwarna cokelat tua memberikan kesan hangat dan mengundang. Udara segar bercampur dengan aroma roti panggang yang baru keluar dari oven, menambah kenyamanan suasana. Di tengah keheningan, detik jam di dinding berdetak lembut, seirama dengan denyut cemas yang semakin kuat terasa.
Saat Yessica muncul, sekejap kafe terasa lebih hidup. Dress hitamnya melambai lembut, menyorot lekuk tubuh yang membingkai keanggunan dirinya. Harum parfum floral yang menyegarkan seolah menyelimuti ruangan, menggantikan bau kopi dengan kesan elegan yang memikat. Mata cokelat cerahnya menatap Raka, dalam sorot penuh ketenangan yang menusuk hingga ke relung hati.
"Mas Raka, ya?" Suara perempuan itu lembut dan mengalun, seperti melodi yang menenangkan. Langkahnya ringan dan anggun saat ia melangkah menuju meja, duduk dengan gerakan yang penuh percaya diri namun tetap ramah.
Raka merasa matanya beralih dari kekaguman ke kegugupan, merasakan tangan-tangannya bergetar pelan. Aroma kopi yang menguar dari cangkir di hadapannya seolah menjadi kontras dengan kehadiran Yessica, menambahkan rasa aneh pada suasana yang seharusnya nyaman.
"Aku nggak tau apa yang kamu harapkan dari kesepakatan ini. Tapi sebagai klien, kamu bebas menentukan. Aku bisa jadi pacar sempurna, atau sekadar teman bicara kalau kamu mau," ujar Yessica, tatapannya menembus langsung ke mata Raka, menciptakan sensasi hangat yang mulai mengalir di dalam dirinya. Setiap kata yang dia ucapkan bagaikan benang-benang halus yang menjalin suasana di sekitar mereka.
Raka merasakan sebuah tekanan lembut di dadanya, mencoba menjaga ketenangan dengan senyum yang terasa lebih kaku dari biasanya.
"Aku cuma butuh seseorang yang bisa berpura-pura jadi pacar di beberapa acara." Pria itu menyodorkan undangan pernikahan sahabatnya. "Dan setelah itu, kita bisa akhiri semuanya."
Yessica mengangguk paham. "Baik. Kontraknya dua bulan, ya? Selama itu, aku bakal jadi kekasih kamu yang ideal. Tapi ingat, kita tetap profesional. Nggak ada perasaan yang boleh masuk ke dalam kontrak ini," katanya dengan tegas.
Hari-hari berikutnya penuh dengan kontradiksi. Yessica memainkan perannya dengan sangat baik, menghadiri acara kantor, makan malam bersama keluarga, dan menemani Raka dalam kegiatan sehari-harinya agar benar-benar menyakinkan hingga tiba di hari H.
Senyum gadis itu seperti bintang yang menerangi malam gelap Raka, dan tawa mereka bersama adalah simfoni yang menggugah semangat. Namun, Raka sering kali terseret dalam ilusi, seolah ia sedang berada di dalam sebuah film yang penuh dengan adegan-adegan indah namun penuh kepalsuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot (Chikara)
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA Terima kasih. Semuanya tentang mereka berdua.